CILACAP – Kebergantungan manusia pada perangkat komunikasi dan jaringan internet dewasa ini seperti menjadi hal yang sudah lumrah, karena tingginya kebutuhan informasi yang cepat.
Anggota Komisi Kajian Ketenagakerjaan MPR RI Nuzran Joher pun mengutip satu ‘pelesetan’ dari tingkatan teori kebutuhan Abraham Maslow untuk ilustrasi kebergantungan manusia pada teknologi informasi itu.
“Untuk situasi era digital saat ini, dalam tingkatan hierarki kebutuhan Maslow itu sudah bukan lima tingkatan lagi tapi ada tujuh tingkatan,” kata Nuzran saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema ”Menjadi Masyarakat Digital yang Berbudaya di Indonesia” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (13/8/2021).
Jika dalam lima tingkatan teori yang digambarkan dengan bagan piramida itu kebutuhan fisiologis atau kebutuhan paling dasar manusia adalah makanan, minuman, rumah, tidur, dan oksigen yang posisinya ada di tingkatan terbawah (paling dasar piramida), namun di era ini, kata Nuzran, tingkatan terbawah piramida itu adalah wifi dan baterai.
“Saat kita ke restoran contohnya, seringkali yang dicari bukan makan minum yang pertama. Tapi kita cari colokan kabel listrik untuk charger handphone yang baterainya mau habis atau mencari koneksi jaringan wifi di restoran itu. Perubahan ini sudah lazim kita temui,” kata Nuzran.
Nuzran menuturkan, tingginya kebutuhan teknologi informasi di Tanah Air ini bisa dicermati melihat data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang melansir pengguna internet di Indonesia hingga kuartal II/2020 mencapai 196,7 juta atau 73,7 persen dari populasi. Jumlah ini bertambah sekitar 25,5 juta pengguna dibandingkan tahun sebelumnya.
“Dominasi generasi Y dan Z atau digital native menjadi perhatian dan internet jadi kebutuhan, karena menawarkan platform komunikasi borderless alias tanpa batas,” tegas Nuzran.
Dengan perkembangan pengguna yang melek internet ini, lanjutnya, media massa menjadi personal dan kian interaktif.
“Di sinilah sering terjadi kesenjangan antara kebebasan berekspresi di ruang publik dengan tanggung jawab kewargaan digital,” ujar Nuzran.
Sebabnya, dengan kebebasan ekspresi di ruang digital itu, pengguna kini bisa bertindak ganda. Baik sebagai penyebar informasi maupun produsen informasi itu sendiri.
“Meski kita memiliki kebebasan bersuara dan menyampaikan apa pun di ruang digital itu, namun pengguna bisa menengok pada pasal 28J ayat 2 tahun 1945,” tuturnya.
Dalam pasal itu, masih menurut Nuzran, tegas dinyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral.
“Ada batasan kunci dalam kebebasan berekspresi itu, meski satu sisi itu menjadi kebutuhan aktualisasi diri kita,” kata Nuzran. Ia melanjutkan, Indonesia dengan keragamannya memiliki sekitar 2.500 jenis bahasa. Jumlah tersebut adalah dua kali lipat dari suku yang ada di Indonesia, yakni 1.340 suku
“Perbedaan ini yang harus kita rawat, jaga, dan hormati dalam bingkai persatuan baik di dunia nyata maupun ruang digital,” tegas Nuzran.
Narasumber lain dalam webinar itu, Kepala Kantor Kemenag Cilacap Imam Tobroni mengatakan, urgensi media digital saat ini hendaknya diarahkan pada hal-hal yang memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain
“Jadikan ruang digital membangun relasi sosial yang efektif, sekaligus menciptakan team work,” kata Imam. Menurut Imam manusia tergantung pada teknologi dalam banyak hal. Oleh sebab itu, perlu menjadi ruang untuk mendorong kolaborasi dalam berbagai bidang.
Webinar yang dipandu Nabila Najib sebagai moderator ini juga menghadirkan narasumber lain, yakni: dosen Fakultas Psikologi UST Yogyakarta Ryan Sugiarto dan Pegiat Literasi Digital Heru Prasetia serta Sonny Ismail selaku key opinion leader. (*)