SEMARANG – Kemudahan yang diberikan dunia digital berdampak pada peningkatan kasus pengaduan anak terkait pornografi dan kejahatan online (korban dan pelaku) yang mencapai 1.940 anak dari 2017-2019. Jumlah anak yang menjadi korban kejahatan seksual online sebanyak 329 anak, sedangkan jumlah pelaku kejahatan seksual online 299 anak.
Sementara itu, anak korban pornografi dari media sosial sebanyak 426 anak, pelaku kepemilikan media pornografi (gambar dan video) sebanyak 316 anak, korban perundungan 281 anak, dan pelaku perundungan di media sosial sebanyak 291 anak.
”Maraknya pornografi dan pelecehan seksual di dunia digital harus diimbangi dengan literasi digital, khususnya kompetensi digital safety,” ujar pegiat advokasi sosial Ari Ujianto, saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital bertajuk ”Bahaya Pornografi dan Pelecehan Seksual di Ruang Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (20/8/2021).
Ari Ujianto mengatakan, kompetensi keamanan digital yang meliputi pengamanan dalam hal perangkat digital, identitas digital, penipuan digital, rekam jejak digital, keamanan digital anak, harus benar-benar dipahami oleh orangtua, apalagi yang mempunyai anak usia remaja. Pemahaman kecakapan keamanan digital yang baik akan mengeleminir kasus-kasus kejahatan seksual di ruang digital.
Ada tiga area kecakapan keamanan digital, menurut Ari. Yakni, area kognitif, atau tempat membangun pengetahuan untuk memproteksi diri dan perangkat digital; afektif atau area membentuk kesadaran untuk saling melindungi antarwarga digital; dan behavioral sebagai area meningkatkan kesadaran dan kebiasaan untuk selalu waspada di dunia digital.
Ari menambahkan, salah satu cara mengurangi bahaya internet atau media digital bagi anak adalah menjaga keamanan anak di platform digital. Kemudian, Ari juga menyebutkan beberapa aspek keselamatan anak di dunia digital, meliputi: perundungan (bullying), perdagangan orang (trafficking), pencurian data pribadi, pelecehan seksual dan pornografi, penipuan, kekerasan, dan kecanduan.
”Selain fungsi otak menurun, pornografi juga akan merusak otak anak. Jalur komunikasi di dalam otak terganggu, mencontoh perilaku dalam gambar/video, menimbulkan kecemasan, perilaku kasar, dan sulit bergaul dengan sebaya,” jelas Ari.
Narasumber lain dalam webinar ini, fasilitator nasional Muhammat Taufik Saputra menyatakan, pornografi dan pelecehan seksual online terhadap anak makin banyak dijumpai seiring dengan kemudahan akses yang ditawarkan oleh media digital. Padahal, pornografi dapat memberi dampak langsung pada perkembangan otak anak dan remaja, yang bisa menyebabkan kerusakan otak permanen bila tidak segera diatasi.
Menyikapi maraknya pornografi dan pelecehan di dunia maya, Taufik menyarankan agar orangtua maupun anak kembali kepada nilai Pancasila. Tak terbatas saat dunia nyata, tapi juga mengimplementasikannya saat berada di dunia maya.
”Nilai cinta kasih, kesetaraan, harmoni, demokratis, dan gotong royong, harus benar-benar dipraktikkan dan menjadi landasan perilaku saat berada di ruang digital,” jelas Taufik.
Dampak rendahnya pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila dan kebhinnekaan membuat orang tidak mampu mengenal batasan antara kebebasan berekspresi dengan pornografi, perundungan siber, ujaran kebencian, pencemaran nama baik atau provokasi yang mengarah kepada perpecahan di ruang digital.
”Dampak rendahnya pemahaman nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, juga mengakibatkan ketidakmampuan membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi di ruang digital, maupun tidak mampu membedakan misinformasi, disinformasi, dan malinformasi,” pungkas Taufik menutup paparan.
Webinar yang dipandu moderator Safiera Aljufri ini, semakin semarak dengan hadirnya dua narasumber lain, yakni: Sholahuddin Nur Azmy (CEO pasardesa.id) dan Andi Taru Nugroho Nur Wismono (CEO of Educa Studio), serta Virginia Obed yang bertindak selaku key opinion leader. (*)