CILACAP – Setiap pengguna media digital dapat turut aktif membantu melakukan pengawasan terhadap berbagai informasi maupun berita hoaks di media sosial demi mewujudkan internet yang aman, nyaman, sehat, dan bermanfaat bagi publik secara luas.
Dengan makin maraknya berbagai informasi yang cenderung menyesatkan dan berpotensi mengganggu kondusifitas, setiap pengguna digital didorong ikut menjadi ranger literasi digital.
“Menjadi ranger literasi digital perlu melengkapi diri dengan kompetensi kecakapan digital,” ujar IT Business Analyst Donnie Hulalata, saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Pilih-pilih Informasi di Ruang Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Senin (1/9/2021).
Pada webinar yang diikuti seratusan peserta itu, Donnie mengatakan, kompetensi ranger literasi digital dimulai dari kemampuan mengakses segala informasi di media sosial dan platform digital lainnya untuk mencari sumber kebenaran. Kemudian, kompetensi menyeleksi segala informasi apakah memadai sumbernya atau tidak.
“Biasakan cek, apakah informasi itu sudah memenuhi unsur 5W 1H,” ujar Donnie. Unsur 5W 1 H yang dimaksud adalah struktur informasi yakni What (apa yang terjadi), Who (siapa yang terlibat di dalam peristiwa tersebut), Why (mengapa hal tersebut dapat terjadi), When (kapan peristiwa tersebut terjadi) dan Where (di mana peristiwa tersebut terjadi).
Seorang ranger literasi digital juga
perlu memahami bagaimana informasi itu bergerak dan disebarluaskan. “Kita pun sebagai ranger harus terbiasa menganalisis, bagaimana informasi itu diproduksi, apakah sudah memenuhi kaidah-kaidah verifikasi,” kata Donnie.
Selain itu, perlunya upaya selalu mengklarifikasi apakah informasi itu sumbernya sudah A1 atau sudah benar-benar jelas kebenarannya.
“Jika sudah ke tahapan klarifikasi, lalu mengevaluasi dengan cara me-review kembali bagaimana informasi itu dibuat dan disebarkan,” kata Donnie. Ini soal kompetensi mendistribusikan ketika sebuah informasi itu tercipta.
“Jangan sampai ikut terjebak dengan informasi yang salah dan kemudian menyesatkan. Makanya perlu kompetensi memproduksi, lalu berpartisipasi dalam mengawasi informasi dan harus bisa berpartisipasi,” jelas Donnie.
Sebagai ranger literasi digital juga perlu memahami berbagai ragam hoaks dan informasi yang salah. Jenis informasi salah yang patut diwaspadai, misalnya berita bohong yang mencemarkan nama baik. Aksi ini dapat dijerat pasal 27 ayat 3 UU ITE, yang ancaman hukumannya 4 tahun atau denda Rp 75 juta.
Ada pula jenis hoaks yang menyebabkan kerugian konsumen. “Hoaks ini bisa dijerat dengan pasal 28 ayat 1 UU ITE yang ancaman hukumannya 6 tahun atau maksimal denda Rp 1 miliar,” kata Donnie.
Sedangkan jenis hoaks yang menimbulkan kebencian atau permusuhan SARA, dapat dijerat dengan pasal 28 ayat 2 UU ITE, yang ancaman hukumannya 6 tahun atau denda Rp 1 miliar.
Narasumber lain, pemerhati seni dan film Zahid Asmara mengatakan, satu aksi negatif yang populer sebagai dampak bebasnya ruang digital yakni
cyberdoxing.
“Perbuatan doxing ditandai dengan menyebarkan informasi pribadi seseorang di internet tanpa izin baik foto, rumah, nomor ponsel sampai data personal lainnya, menjadi ancaman kebebasan di ruang digital,” kata Zahid.
Menurut Zahid, semestinya makin dewasa pengguna internet makin menuntun penggunaan lebih bijak dan bajik.
Dimoderatori Ayu Perwari, webinar ini juga menghadirkan narasumber lain, yakni: dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UNS Monika Sri Yuliarti, Founder & CEO Opal Communication serta Shafinaz Nachiar selaku key opinion leader. (*)