BANTUL – Bangsa Indonesia yang multikulturalis membutuhkan sikap moderasi beragama sebagai solusi kerukunan umat beragama. Era digital memberi tambahan sarana pada penanaman nilai-nilai moderasi beragama. Namun, mesti disadari, era digital yang identik dengan internet sejatinya hanyalah alat yang dapat memberikan dampak positif maupun negatif, tergantung pada cara dan tujuan penggunaannya.
”Dampak positif budaya digital telah mengubah preferensi sumber informasi keagamaan, dampak negatifnya, yakni dislokasi intelektual dan kultural hingga penguatan identitas kelompok,” tutur Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Bantul Aidi Johansyah, saat menjadi narasumber webinar literasi digital bertema ”Moderasi dan Penanaman Nilai-nilai Keagamaan Melalui Online” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (8/9/2021).
Untuk itu, lanjut Aidi, persoalan moderasi agama telah masuk dalam visi dan misi Kemenag tahun 2020-2024, yang menyebutkan: ”Kementerian Agama yang profesional dan andal dalam membangun masyarakat yang saleh, moderat, cerdas dan unggul untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berdasarkan gotong royong”.
”Kemudian dalam salah satu penjabaran misinya pada butir kedua disebutkan, ’Memperkuat moderasi beragama dan kerukunan umat beragama’,” kata Aidi di depan 270-an partisipan webinar.
Aidi Johansyah melanjutkan, selain masuk dalam visi-misi, persoalan moderasi beragama juga telah menjadi program prioritas Kemenag tahun 2021. Program penguatan moderasi beragama bersama program prioritas lainnya seperti: transformasi digital, revitalisasi KUA, cyber Islamic University, kemandirian pesantren, religiosity index, tahun toleransi, diharapkan mampu meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya sikap moderasi beragama.
Sikap moderasi beragama, lanjut Aidi, berarti cara pandang (perspektif), sikap dan perilaku yang selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu adil dan tidak ekstrem dalam beragama. Cara beragama jalan tengah sesuai pengertian moderasi itu sendiri. Dengan moderasi beragama, seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya.
”Orang yang mempraktikkan moderasi beragama disebut moderat. Adapun hasil moderasi beragama adalah ’toleransi’, yakni kemauan dan kemampuan seseorang untuk menghargai dan menghormati perbedaan,” tegas Aidi Johansyah.
Ciri-ciri moderat, masih menurut Aidi, di antaranya memahami realitas, memahami fikih prioritas, menghindari fanatisme berlebihan, mengedepankan prinsip kemudahan dalam beragama, memahami teks secara komprehensif, keterbukaan dalam menyikapi perbedaan, komitmen terhadap kebenaran dan keadilan.
”Semua ciri itu harus didasari prinsip moderasi adil: artinya tidak berat sebelah, tidak memihak, perpihak pada kebenaran, tidak sewenang-wenang; berimbang: cara pandang, sikap, dan komitmen untuk selalu berpihak pada keadilan, kemanusiaan dan persamaan; toleran: penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Dan pilarnya adalah moderasi pemikiran, moderasi perbuatan, dan moderasi gerakan,” pungkas Aidi, mengakhiri paparan.
Narasumber lain dalam webinar ini, Ketua Yayasan Desantara Muhammad Nurkhoiron menyebut ihwal perlunya mengasah kemampuan kecakapan digital (digital skills) untuk memperkuat gerakan moderasi keagamaan di media digital. Misalnya, kemampuan dan kecakapan membuat konten (copy writer, content writer, blogger, vlogger, film maker) untuk diunggah ke media digital.
”Konten digital bisa dimanfaatkan untuk membangun soft diplomasi ke luar negeri, membangun integrasi atau harmonisasi kebangsaan dan keagamaan, yang semuanya digali dari nilai-nilai kegamaan dan kearifan lokal (budaya lokal),” kata mantan komisioner Komnas HAM itu.
Khoiron memungkas paparan seraya menyebut, nilai-nilai toleransi moderat seperti tasamuh, tawasut, tawazun, dan nilai-nilai kebangsaan yang senapas dengan keagamaan (hubbul wathon minal iman) maupun nilai kemanusiaan sebagai maqasid al syariah (hak asasi manusia dalam Islam) bisa diproduksi dan didistribusikan melalui beragam platform media sosial seperti facebook, instagram, twitter, youtube, tiktok, maupun aplikasi percakapan whatsApp.
Webinar yang dipandu oleh moderator entertainer Triwi Dyatmoko itu, juga menghadirkan narasumber Septa Dinata (peneliti Paramadina Public Policy), Ahmad Fauzi (Kabid Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kanwil Kemenag DIY), serta presenter TV Adinda Daffi selaku key opinion leader. (*)