SEMARANG – Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang mengizinkan dan memberikan hak, kebebasan kepada warga negaranya untuk berpendapat dan turut serta dalam pengambilan keputusan di pemerintahan. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu pesat, sehingga membawa perubahan di berbagai lapisan kehidupan, termasuk cara berinteraksi dan berpendapat.
Hal tersebut diungkapkan oleh dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Bevaola Kusumasari, dalam webinar literasi digital dengan tema ”Suara Demokrasi di Ranah Digital” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (10/9/2021).
Adanya perkembangan teknologi, mendorong pertarungan opini di dalam media digital semakin banyak. Menurutnya, kondisi saat ini tengah berada di era kelimpahan informasi dan komunikasi. Era ini ditandai oleh dominasi media baru yang menggusur kebiasaan lama. ”Tanpa kendala jarak dan waktu, masyarakat memanfaatkan komunikasi digital yang tersebar secara radikal,” ujarnya.
Bevaola mengungkapkan, akibatnya pertarungan opini di media digital menjadi umum. Namun sayangnya masyarakat masih belum seluruhnya dewasa dalam memanfaatkan internet. ”Konten negatif berseliweran dalam beragam bentuk, hoaks menjadi yang paling sering ditemui dan berdaya rusak tinggi,” tuturnya.
Bevaola mengatakan, secara teoretis, media baru memberikan kesempatan publik berkuasa. ”Berkuasa ini maksudnya adalah kemampuan menghasilkan efek yang diinginkan, maka kini kemampuan itu ada di tangan atau jempol kita semua,” ucapnya.
Pengguna digital, lanjut Bevaola, memiliki kapasitas untuk menyebarkan gagasan hingga membangun komunitas dan gerakan. ”Kita bisa menyebarkan informasi baik positif maupun negatif dalam skala dan dampak yang lebih besar,” katanya.
Adanya perkembangan teknologi, menurut Bevaola, harus diiringi dengan literasi digital yakni kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat dan mengkomunikasikan konten atau informasi dengan kecakapan kognitif maupun teknikal.
Selain itu juga sikap toleransi, yakni suatu keadaan yang harus ada dalam diri perorangan atau masyarakat untuk hidup damai di tengah perbedaan yang ada, baik perbedaan sejarah, identitas, maupun budaya. Adapun ciri-ciri dari toleransi itu sendiri yakni menghormati orang lain, memberi kebebasan bagi orang lain, dan menghargai pendapat orang lain. ”Serta tidak memandang perbedaan fisik dan psikis dalam bersosialisasi,” ucap Bevaola.
Narasumber lainnya, dosen Vokasi Institut STIAMI Jakarta, Haswan Boris Muda Harahap mengatakan, ruang digital telah menjadi instrumen paling kuat dalam abad ke-21 untuk meningkatkan transparansi dalam mengawasi kerja pemerintahan. ”Memberi akses pada informasi dan juga memfasilitasi warga untuk berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang demokratis,” ujarnya.
Boris mengungkapkan, ada beberapa hal yang harus dihindari dalam berekspresi di dunia digital. Salah satunya, yakni tidak diikutinya kemampuan masyarakat untuk menggunakan teknologi. ”Jangan sampai media sosial menjadi media tempat bersemainya misinformasi, disinformasi dan malinformasi,” paparnya.
Dipandu oleh moderator Nabila Nadjib, diskusi virtual juga menghadirkan narasumber Supranoto (dosen FISIP Universitas Jember), Kokok Herdhianto Dirgantoro (founder and CEO Opal Communication), dan Putra Dirgantara Indonesia Kevin Benedict, selaku key opinion leader. (*)