Oleh: Salma Lathifatun Nisa’
Desa Penuh Toleransi dan Kesatuan
Desa Karangsari adalah sebuah desa yang dimana didalamnya mempunyai masyarakat-masyarakat yang sangat patut dijadikan contoh oleh desa lainnya. Desa Karangsari berada di salah satu Kecamatan Cluwak yang berada di perbatasan antara Pati dan Jepara.
Desa ini memiliki perbedaan agama namun tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai perpecahan antar masyarakat satu dan masyarakat lainnya. Justru perbedaan tersebut menimbulkan rasa saling menghargai satu sama lainnya yang begitu tinggi. Desa Karangsari memiliki 5 dukuh, diantaranya dukuh cluwak, dukuh sayang, dukuh jentir, dukuh gibing, dan dukuh godang. Desa Karangsari mempunyai potensi alam yang sangat besar, disana banyak sekali persawahan dan perkebunan yang luas sehingga mayoritas masyarakat disana berprofesi sebagai petani.
Desa Karangsari merupakan salah satu desa di Kabupaten Pati yang dijuluki sebagai desa Pancasila. Awal mula desa Karangsari dijuluki sebagai desa pancasila pada saat tahun 2017 waktu ada salah satu pemerintahan dari Jakarta yang langsung datang dan melihat kondisi desa Karangsari seperti apa dan bagaimana. Desa Karangsari dijuluki sebagai desa Pancasila karena kerukunan dan toleransinya yang sangat tinggi. Warga desa Karangsari mampu menjadikan perbedaan tersebut menjadi sebuah kesatuan dan tidak pernah menjadikan perbedaan tersebut menjai perpecahan. Desa yang mampu dijadikan dan dijuluki desa Pancasila adalah desa yang majemuk terdiri dari berbagai macam agama tetapi sangat rukun dan damai. Di Kabupaten Pati sendiri ada 3 desa yang dijuluki sebagai desa Pancasila 2 diantaranya adalah desa Giling dan Desa Jrahi yang berada di Kecamatan Gunungwungkal, dan satu nya adalah desa Karangsari yang berada di Kecamatan Cluwak. Memang tidak bisa di pungkiri lagi desa Karangsari sangat patut dijadikan contoh oleh desa lainnya mengenai perbedaan yang ada namun mereka menjadikan perbedaan tersebut menjadi sebuah hubungan yang humoris dan bersatu tanpa membeda-bedakan kepercayaan keagamaan.
Hubungan toleransi yang tinggi ini sudah ada sejak jaman dahulu, untuk generasi sekarang sangat bersyukur karena desa Karangsari bisa berdiri dengan kerukunan yang erat. Nenek moyang desa Karangsari membangun toleransi dengan baik sehingga sampai sekarang toleransi tersebut masih sangat terjaga. Bukan hanya mengenai toleransi yang terbangun sejak jaman dahulu, hubungan antara pemerintahan desa dan masyarakat desa yang harmonis dan baik itu juga sangat mempengaruhi persatuan dan kesatuan desa Karangsari. Tanpa adanya contoh yang baik mungkin perpecahan juga bisa saja terjadi, namun karena contoh yang baik yang diberikan oleh pemerintahan desa membuat masyarakat pun juga mempunyai sudut pandang yang baik.
Masyarakat desa Karangsari mempunyai prinsip bahwa “AGAMAKU AGAMAKU, AGAMAMU AGAMAMU” prinsip itu menjadi acuan yang dipegang oleh masyarakat. Karena didalam prinsip tersebut di maksudkan bahwasannya masyarakat tidak ikut campur dengan agama yang lainnya, bagi mereka agama mereka ya agama mereka dan agama masyarakat lainnya ya urusan mereka sendiri. Dengan tidak ikut campur mengenai agama dan ibadah yang dilakukan. Itu menjadi salah satu rasa menghargai yang dilakukan didesa Karangsari.
Desa Karangsari dikatakan sebagai desa yang memiliki kesatuan karena disetiap kegiatan ataupun acara yang dilakukan mereka saling gotong royong dan membantu. Bukan hanya mereka yang seiman namun juga masyarakat semuanya yang memiliki iman yang berbeda, seperti halnya ketika ada pembangunan Mushola maka disana masyarakat yang beragama Budha dan juga Kristen ikut serta didalam pembangunan. Bukan hanya tenaga yang mereka sumbangkan bahkan mereka membantu didalam segi biaya, material bangunan, konsumsinya dan yang lainnya. Hal tersebut masih sangat jarang di jumpai didesa lain. Ketika ada pembangunan Vihara dan GITJ juga begitu sebaliknya mereka saling bantu-membantu tanpa membeda-bedakan agama. Tidak ada istilah beda kepercayaan dan akan timbul perpecahan, justru perbedaan tersebut selalu mewarnai keseharian mereka yang berada tinggal di desa majemuk.
Solidaritas, saling menghargai, dan toleransi yang tinggi menjadikan kenyamanan bagi warga desa Karangsari. Rasa nayaman yang didapatkan menjadi tolak ukur bahwa desa ini mampu menjunjung tinggi perilaku toleransi dan menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika. Mnurut berbagai tokoh agama, dari tokoh agama Islam, Budha, Kristen mengatakan bahwasannya tidak pernah sekalipun terjadi perpecahan didesa mengenai keagamaan semua selalu baik dan hidup rukun dari jaman dahulu sampai sekarang. Semaunya hidup berdampingan saling ada untuk satu dan lainnya. Tidak ada perbedaan yang mendasari suatu perpecahan adanya hanyalah perbedaan yang dijadikan sebuah kesatuan. Kesatuan yang mampu di jadikan contoh oleh desa-desa lainnya. Kesatuan yang menjunjung tinggi nilai Pancasila.
Satu Rumah dengan Tiga Keyakinan
Persatuan yang ada di desa Karangsari bukan hanyan masyarakat satu dan masyarakat lainnya. Bahkan di desa Karangsari ada beberapa yang perbedaan tersebut berada dilingkungan keluarga bahkan di satu rumah. Mereka mampu menjaga rasa saling menghargai dan toleransi yang tinggi bukan hanya kepada tetangga dan masyarakat lainnya namun didalam keluarganya.seperti contoh Bapak Tukijan beserta istrinya mereka berada di dalam satu rumah dengan 3 Agama sekaligus, Bapak tukijan beragama Kristen dan istrinya beragama Budha, anak pertama laki-lakinya beragama Islam, anak kedua laki-lakinya beragama Kristen, dan anak ke-3 perempuan beragama Budha seperti ibunya. Namun perbedaan tersebut tidak pernah menajdi sebuah kekacauan di keluarga bapak Tukijan karena memang mereka mempunyai rasa sayang satu sama lainnya yang tinggi, rasa hormat, kasih dan toleransi yang sangat tinggi. Mereka hidup satu rumah berdampingan dengan 3 agama yang berbeda tanpa perpecahan. Mereka tetap satu keluarga yang bahagia dan harmonis. Bapak Tukijan mendidik anak-anaknya dengan baik sehingga mereka tumbuh dan akhirnya memilih agama mereka masing-masing karena bapak Tukijan beserta istrinya tidak mau untuk memaksakan anak-anaknya didalam memilih kepercayaan keagamaan yang akan mereka peluk.
Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Kudus