BANYUMAS –Bukan hal baru bagi para pengguna media sosial, orang yang mungkin dalam kesehariannya tampak tenang, malu bicara, dan culun, terkadang bisa meledak-ledak saat berbicara atau mengekspresikan diri di ruang media sosial.
Bahkan, sebagian remaja masa kini yang akrab di media sosial, entah yang kesehariannya tampak biasa atau tidak, sama-sama bisa berkata kasar, dan bully sana bully sini, padahal bisa jadi mereka tidak saling kenal secara pribadi.
”Mereka lebih berani di media sosial karena orang-orang itu merasa bisa menyembunyikan identitas aslinya. Kebanyakan orang Indonesia merasa sungkan jika bertatap muka secara langsung,” ucap dosen DKV Universitas Sahid Surakarta, Ahmad Khoirul Anwar, saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Interaksi Online Nyaman, Kikis Ujaran Kebencian” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (13/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Khoirul menuturkan, selain bisa menyembunyikan identitas, orang juga cenderung memilih diam ketika di dunia nyata, karena masih memiliki perasaan takut menyinggung lawan bicara. Namun di media sosial, jika ada sesuatu yang memunculkan rasa ketidaksetujuan atau ketidaksukaan, mereka lebih bebas menyampaikan perasaan yang mungkin saja tidak bisa tersampaikan ketika tatap muka.
“Orang juga bisa lebih berani di media sosial karena seolah tak memiliki beban tanggung jawab atas yang dia keluarkan. Tanpa adanya beban tanggung jawab baik moral maupun material, tentu akan mendorong seseorang untuk berani mengkomunikasikan apa yang terlintas dalam hati maupun pikirannya secara spontan tanpa harus mempertimbangkan konsekuensinya,” kata Khoirul.
Khoirul mengingatkan, bagi tipe pengguna media sosial seperti ini, agar tetap berhati-hati. Karena kata-kata kasar adalah senjata yang bisa berujung menjadi ujaran kebencian. ”Media massa dan media sosial kita seharusnya saat ini dikembalikan pada tujuan awal. Yakni, untuk memberikan informasi pendidikan dan hiburan bagi masyarakat serta menjadi alat kontrol sosial bagi penyelenggaraan negara,” kata dia.
Untuk itu, lanjut Ahmad Khoirul, kebijakan negara soal ujaran kebencian selayaknya diapresiasi agar masyarakat Indonesia dapat hidup dengan rukun, aman, dan damai sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Khoirul menambahkan, ada sejumlah langkah bisa menjadi panduan agar kata-kata atau konten yang dibuat terhindar dari ujaran kebencian.
Antara lain, ujarnya, memilih diksi kata dengan tepat sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. ”Hindari kalimat ambigu, gunakan kalimat efektif dan positif, sistematis mengalir dan mudah dipahami. Begitupun dengan gaya bahasa yang digunakan, hindari ironi, sarkasme, satire juga sinisme,” urai Khoirul.
Narasumber lain dalam webinar itu, Staf Ahli Komite I DPD RI Sudarman menuturkan, di era ini hal yang paling perlu diwaspadai tak lain jejak digital. Sudarman merinci berbagai hal bisa menjadi jejak digital untuk dilacak. Mulai dari video yang pernah ditonton, postingan di sosial media, aplikasi yang digunakan, pencarian di Google, barang yang pernah dibeli, riwayat ojek online atau pesan makanan online, musik yang diputar, hingga online games yang sering digunakan.
”Itu semua bisa menjadi jejak digital. Makanya, ketika kita berkata kasar dan mengeluarkan hal yang dimaksud dalam ujaran kebencian akan tercatat. Baik itu ungkapan atau ekspresi yang menganjurkan ajakan untuk mendiskreditkan, menyakiti, seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan membangun dan permusuhan kekerasan dan diskriminasi,” tutur Sudarman.
Sudarman menambahkan, untuk mengikis virus kebencian bisa dilakukan dengan setidaknya dua hal. Pertama, menyadari bahwa perbedaan dan keberagaman merupakan rahmat dan anugerah Tuhan, toleransi sebuah keharusan. Kedua, memahami bahwa kebhinnekaan Indonesia adalah realitas masa lalu, kini, dan yang akan datang.
”Jadi, tidak mungkin semuanya akan sama dan seragam. Ingatlah, ujaran kebencian selain tidak etis juga merupakan konten negatif yang melanggar hukum, menimbulkan bumerang di masa depan kita, bijaklah bermedia, bijaklah berkomentar, nyaman dalam interaksi dunia digital untuk sinergi dan kolaborasi demi kebermanfaatan bersama,” tegas Sudarman.
Dimoderatori oleh Dimas Satria, webinar ini juga menghadirkan narasumber: entrepreneur dan graphologist Diana Balienda, Managing Director Indoplus Communications Edy Budiyarso, serta Adinda Daffy selaku key opinion leader. (*)