GROBOGAN –Di era digital yang dipenuhi nilai-nilai budaya baru saat ini, generasi milenial diharapkan mampu menjadi penggerak kerukunan dan persatuan antaranak bangsa serta semakin tertanamnya nilai-nilai Pancasila.
Meski upaya tersebut diakui tak mudah, namun hal itu dinilai bisa digencarkan melalui berbagai cara, seperti menggunakan formula metode pembelajaran yang relevan dengan perkembangan teknologi. Sehingga Pancasila tetap bisa dijadikan pegangan dalam prinsip hidup generasi milenial dalam menghadapi masalah bangsa yang jauh lebih kompleks.
”Tantangan Pancasila di era milenial sangat banyak. Mulai dari krisis toleransi, penyebaran paham-paham yang bertentangan secara terstruktur dan sistematik, hingga banyak lembaga pendidikan organisasi kemasyarakatan dan komunitas sosial yang terpapar ideologi anti Pancasila,” kata dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Anis Mashduqi, saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Kreatif Lestarikan Nilai-nilai Pancasila di Ruang Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Senin (13/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti sekira 500 peserta itu, Anis menuturkan tantangan Pancasila pun ditemui ketika masih ada aksi-aksi brainwashing atau cuci otak generasi muda. Aksi yang menyebabkan mereka alergi pada politik kebangsaan, sikap permusuhan dengan statement ambisius, tendensius, dipenuhi berita hoaks yang dibumbui isu-isu SARA yang kian membesarkan potensi perpecahan dan kekisruhan bangsa.
Anis menyebutkan, upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam ruang digital ada beberapa cara. “Nilai-nilai Pancasila itu harus menjadi roh atau spirit utama gerakan bersama dulu, baik generasi tua maupun muda. Semua platform digital dijadikan core dan instrumen pokok dalam upaya menanamkan dan menyebar luaskan nilai-nilai Pancasila,” kata Anis.
Selain itu, lanjut Anis, perlu dorongan produksi konten-konten kreatif bernapaskan Pancasila. Konten itu harus terus memenuhi dan mendominasi ruang digital. ”Sumber-sumber informasi yang berkenaan dengan Pancasila, juga harus mudah diakses,” tutur Anis.
Selanjutnya, imbuh Anis, platform media digital yang digunakan mesti satu suara mengusung ideologi Pancasila, serta harus ada penyesuaian penanaman nilai itu dengan cita rasa milenial. ”Pengoperasian gerakan penanaman nilai-nilai Pancasila ini harus dioperasikan oleh user yang memiliki skill digital mumpuni,” tegas Anis.
Anis menambahkan, perlu juga memahami posisi digital skill dalam ruang digital yang tidak pernah independen. Tetapi digial skill itu bergantung pada faktor-faktor pendukung. Seperti motivasi personal juga ketersediaan akses materialnya.
“Motivasi penting, karena seseorang yang tidak berminat bersentuhan dengan perkembangan teknologi maka akan sulit prosesnya. Bisa dilihat dulu pada tahun 1980 -1994, terjadi teknophobia atau keengganan ikut perkembangan dan penggunaan teknologi. Motivasi yang tinggi pun harus ditopang dengan ketersediaan fasilitas penyediaan komputer jaringan internet, daya beli kuota,” ujarnya.
Ketika motivasi dan fasilitas sudah mencukupi, maka pengembangan skill digital baru dapat dilakukan. Di antaranya mencakup strategi pembuatan konten, kemampuan mengkomunikasikan pesan-pesan dari konten, menjaga kualitas informasi dalam konten yang mendidik dan pengguna bebas mengoperasikan semua itu.
Narasumber lain dalam webinar ini, Hadi Purwanto dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Grobogan – Jawa Tengah mengatakan, di tengah derasnya informasi di ruang digital saat ini seringkali masyarakat masih abai dan tidak kritis, sehingga mudah termakan hoaks. Oleh sebab itu, adalah penting mendorong semakin banyaknya konten-konten bernapaskan nilai Pancasila.
”Kemajuan teknologi digital saat ini membuat masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi secara online dan real time, ini bisa membawa dampak positif jika informasi itu benar namun juga bisa berdampak negatif jika informasi itu ternyata hoaks,” kata Hadi.
Dimoderatori Bobby Aulia, webinar ini juga menghadirkan narasumber penulis dan budayawan Muhammad Jadul Maula, dosen Komunikasi UGM Novi Kurnia serta Nanda Candra selaku key opinion leader. (*)