TEGAL – Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Yogyakarta Novi Widyaningrum mengungkapkan, saat ini masyarakat Indonesia diketahui masih memiliki tingkat literasi yang rendah namun dengan tingkat emosional yang tinggi. Sehingga, satu informasi di media sosial yang tak jelas asal-usul dan kebenarannya, dengan dibumbui berbagai macam frasa, gambar, atau video, langsung bisa menyulut api kebencian massa yang ujungnya bisa sangat fatal.
”Dalam kondisi seperti ini, kita harus bisa hadir sebagai pengguna media digital yang berpikir kritis, mengkampanyekan saring sebelum sharing menghadapi serbuan informasi hoaks yang tidak jelas sumbernya, yang terus datang dari berbagai penjuru itu,” ujar Novi saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Komunikasi Publik di Era Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (13/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti 408 peserta itu, Novi mencontohkan satu bahaya informasi hoaks yang mempengaruhi orang untuk bertindak konyol terjadi di masa pandemi Covid-19 ini. Yakni, ketika beredar informasi sesat bahwa Covid-19 cuma bagian dari konspirasi dan hoaks belaka penyakitnya.
Sialnya, kata Novi, ternyata ada yang percaya informasi tersebut dan membuat orang-orang yang percaya itu tidak mematuhi anjuran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM. ”Ujungnya, mereka tidak patuh pada PPKM. Bepergian ke mana-mana, padahal itu jelas membahayakan diri sendiri dan orang lain,” ujarnya.
Novi menambahkan, berkaca dari kasus tersebut, pengguna digital perlu kembali diedukasi soal cek dan ricek informasi. ”Banyak cara untuk melakukan cek dan ricek informasi. Misalnya dengan Google Fake News, lalu cek informasi itu apa benar dan dimuat oleh media-media mainstream. Bisa juga cek lewat Google image, apakah foto yang digunakan merupakan rekaan atau foto lama. Cek juga alamat url-nya,” papar Novi.
Untuk itu, Novi mengimbau pengguna digital agar meminimalisir tindakan unfollow, unfriend dan block saat menggunakan media sosial. Hal ini untuk menghindari fenomena Echo Chamber dan Filter Bubble yang berbahaya bagi pertumbuhan pola pikir diri.
”Kalau kita hanya berteman dengan orang yang sepandangan dengan kita, yang idenya sama dengan kita, yang sama prinsipnya dengan kita, maka pengetahuan kita akan terjebak dalam gelembung informasi, yang tidak tahu dunia luar. Kita seperti katak dalam tempurung, seperti memakai kacamata kuda,” urai Novi.
Novi menambahkan, tidak adanya ruang diskusi terbuka atas berbagai ide dan pandangan, akan membuat pengguna digital menjadi tidak kritis.
Oleh sebab itu, lanjut Novi, di era digital ini produksi konten positif perlu terus didorong. Gotong royong dan kolaborasi sangat penting di era saat ini. Bukan sekadar kompetisi.
Narasumber lain dalam webinar ini, pemerhati literasi digital dan Komisioner Bawaslu Kabupaten Tegal Harpendi Dwi Pratiwi menuturkan, dalam komunikasi publik di ruang digital tujuan yang ingin dicapai tak lain adalah suatu perubahan persepsi dan perilaku akibat pesan yang disampaikan atau informasi yang diberikan. Sehingga, diharapkan para pengguna digital dapat bertindak sebagai pemberi pesan yang baik dalam komunikasi yang dilakukannya itu.
”Karena karakter komunikasi publik itu bergantung pada audiens, dia tidak personal, tapi direncanakan dan dapat diprediksi meski kontrol terletak pada pengirim pesan,” ujar Harpendi.
Dimoderatori Rara Tanjung, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber: dosen Universitas Serang Raya Ahmad Sururi, Pemred Radar Tegal Fathurahman serta Mujab MS selaku key opinion leader. (*)