SEMRANG– Setiap perkembangan teknologi memiliki dampak positif maupun negatif. Begitu pula soal belajar agama di dunia maya. Bagi yang melihat dampak negatifnya, maka ia akan bilang ’Belajar agama kok dari internet?’ Pertanyaan itu mengandung kebenaran, karena belajar agama melalui internet harus dari sumber yang otoritatif dan memiliki kaidah keilmuan mumpuni serta butuh guru pemandu.
”Agama tidak bisa didapat hanya dengan membaca buku sejarah, apalagi artikel yang tersebar di internet,” kata dosen Fisip Universitas Diponegoro Semarang AP. Tri Yuningsih saat menjadi narasumber pada webinar literasi digital bertema ”Belajar Agama di Dunia Maya” yang digelar Kementerian Kominfo untuk warga Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (9/9/2021).
Dalam diskusi vitual yang dipandu oleh moderator Rara Tanjung itu, Tri Yuningsih tampil bersama narasumber lainnya, yakni: Kiai M. Jadul Maula (pengasuh pondok pesantren budaya Kaliopak Yogyakarta), Romo Melkyor Pando (Pastur Paroki St. Theresia Bongsari Semarang), FX. Sugiyana (vikaris Semarang), dan Mahe Wijaya selaku key opinion leader.
Perempuan yang akrab disapa Yuni itu mengatakan belajar agama itu penting, bahkan salah satu hal yang perlu dilakukan adalah terus belajar agama. Namun, patut diingat, untuk belajar agama mesti melalui ta’lim atau pengajian yang diisi langsung oleh guru yang kompeten di bidangnya.
”Ustadz Abdullah Taslim pernah bilang, untuk urusan agama, kita perlu ta’lim supaya tidak salah paham dalam memahami agama. Tidak ada yang utama kecuali menuntut ilmu agama. Kita belajar dengan niat untuk meraih kepahaman terhadap agama,” tutur Yuni seraya membeberkan manfaat yang diperoleh mempelajari ilmu agama, di antaranya membuat manusia menjadi pribadi yang baik, terhindar dari perbuatan dosa, selalu ingat kepada Tuhan, lebih bersyukur dalam kehidupan, dan membuat manusia lebih ikhlas.
Adapun belajar agama di media digital (internet), menurut Yuni, mempunyai beberapa kerentanan. Hal itu tak lepas dari banyaknya penyalahgunaan isu agama yang dimanfaatkan sebagai kedok sehingga membahayakan individu bahkan merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
”Akibatnya terjadi benturan antar agama akibat hoaks dan ujaran kebencian berbau agama. Di internet dengan mudah juga bisa ditemukan banyaknya paham ekstrem hingga perekrutan anggota kelompok terorisme,” tegas Yuni.
Meskipun begitu, belajar agama melalui ruang digital memiliki sisi positif, yakni sebagai sumber belajar agama dunia maya menyediakan banyak variasi literatur akademik, baik yang berupa teks, audio video ceramah tokoh agama, yang tersebar melaui blog, portal hingga aplikasi.
Narasumber lain pada webinar ini, Pastur Paroki St. Theresia Bongsari Semarang Romo Melkyor Pando menyatakan, agama kini juga telah bermetamorfosis dalam dunia digital, sehingga dikenal istilah ’digital religion’, atau jembatan yang menghubungkan dan memperluas praktik keagamaan online dan offline.
Kemudian, lanjut Romo Melky, juga ada istilah ’digital prayer’, berarti makin banyak pendalaman agama di berbagai platform digital. Lalu, agama juga bermetamorfosis pada praktik keagamaan offline yang diusahakan dalam bentuk baru, bukan taken for granted lagi.
”Media digital memperluas peran agama, sehingga agama mampu menjadi penggerak motivasi dalam hidup bersama. Selama pandemi: agama menggerakkan motivasi orang dan menggerakkan dan mengajarkan solidaritas,” kata Romo Melky.
Problematis hidup beragama di dunia digital, menurut Romo Melky, media-media digital selalu membombardir dengan banyak informasi menuntut kesegeraan dan kecepatan mengakses informasi dan membalas chat atau memberi respon. ”Sehingga melemahkan daya-daya reflektif karena tidak ada lagi ruang hening untuk menjalin relasi dengan yang ilahi,” tegas Romo Melky.
Anehnya, lanjut Romo Melky, makin banyak pengajaran agama yang ditunjang oleh media digital tetapi kebencian, kekerasan, dan tindakan intoleran juga tetap meningkat. ”Bahkan hoaks mengatasnamakan agama,” tandasnya.
Belajar agama di dunia digital, kata Romo Melky, harusnya terbuka dan inklusif. Perluas pengenalan akan pengajar agama tertentu dan ajaran agama lainnya. Media digital untuk memperluas cakrawala. ”Selain itu belajar agama di dunia digital itu bersifat otonom, karena punya otonomi untuk menentukan sebagai subjek. Namun belajar agama di dunia digital juga harus kritis: menerima pengajaran tetapi tetap memegang kesangsian dan punya filter yang kuat,” pungkas Romo Melky. (*)