BANTUL – Teknologi informasi (IT), khususnya media sosial, sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian besar masyarakat, di desa maupun di kota. Teknologi informasi memiliki dua sisi mata pisau yang dapat memberikan dampak baik maupun buruk bila tidak mengetahui bagaimana menyaring informasi di dalamnya.
Internet dapat menjadi wadah bagi penggunanya untuk melakukan kegiatan kreatif maupun berkolaborasi. Namun, penggunanya sendiri haruslah sehat dan aman, karena internet juga memiliki sisi negatif. Internet dapat bermanfaat untuk mencari informasi, data gambar, pengetahuan, sarana hiburan untuk penggunanya. Internet dapat bermanfaat sebagai sarana pembelajaran yang interaktif untuk berbagai bidang ilmu.
Sedangkan media sosial atau jejaring sosial dapat menjadi wadah untuk mencari teman dan wadah untuk berdiskusi. Selain dampak positif, internet juga memiliki sisi negatif antara lain kekerasan, pelecehan, maupun ujaran kebencian.
Progammer & Konsultan Teknologi Informasi, Eka Y. Saputra mengatakan, diskusi di media digital dapat menimbulkan konflik atau ujaran kebencian antar-penggunanya. Selain itu juga memunculkan perbedaan pendapat yang bisa memantik kritik keras antara peserta diskusi.
”Kritik keras bisa berupa serangan karakter, umpatan atau makian dalam diskusi, saling serang pendapat atau gagasan,” kata Eka dalam webinar literasi digital bertema ”Antisipasi Radikalisme Digital”, yang digelar oleh Kementerian Kominfo untuk warga Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (14/9/2021).
Eka mengungkapkan, serangan karakter dalam suatu forum di dunia digital dapat berupa hinaan atau pelecehan, menyerang pribadi atau institusi. Dalam upaya mitigasi ujaran kebencian, menurut Eka, harus ditanggapi dengan jawaban yang ramah, bisa juga dengan menghentikan diskusi.
Pengguna juga bisa mengabaikan komentar ketika muncul postingan pengguna lain yang negatif. ”Blokir akun pengguna yang memberikan komentar negatif, lalu report atau laporan. Menutup kolom komentar, atau memblokir akun bukan pertanda kalah atau pengecut, melainkan hak setiap warganet untuk menjaga kesehatan mental dan mencegah konflik yang lebih besar,” tutur Eka kepada 200-an peserta webinar.
Narasumber lainnya, Direktur Lembaga Survei IDEA Institute Indonesia, Jafar Ahmad mengatakan, ada beberapa latar belakang intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Untuk itu, negara berkewajiban mengembangkan pendidikan keagamaan yang toleran dan inklusif.
Namun, pada kenyataannya, sikap radikalisme dan ekstremisme atas nama agama masih banyak terjadi di Indonesia. ”Paham keagamaan yang intoleran dan eksklusif berdampak negatif bagi kebhinekaan, kesatuan, dan jalannya demokrasi,” ucapnya.
Menurut Jafar, faktor penting mengapa seseorang menjadi intoleran dan radikal yakni proses belajarnya siswa, akses internet untuk pengetahuan agama, ketidakefektifan organisasi agama dalam merangkul anak muda hingga persepsi tentang kinerja pemerintahan.
Jafar mengungkapkan, salah satu cara pengguna digital agar tidak menjadi intoleran atau radikal yakni ketika belajar agama di internet harus diimbangi dengan belajar atau mengaji di dunia nyata dengan guru tetap. ”Bentengi dengan keilmuan, belajar adab serta ukhuwah,” ucapnya.
Diskusi virtual yang dipandu moderator Sisca Septiyani ini juga menghadirkan narasumber dari Yayasan Desantara M. Nurkhoiron, lalu Kepala Kantor Kementerian Agama Bantul Aidi Johansyah, serta Sheila Siregar, Public Relations of State Owned Enterprise, selaku key opinion leader. (*)