MAGELANG – Di saat Indonesia masih menghadapi pandemi Covid-19, medio Maret hingga April 2021 terjadi dua kali peristiwa teror yang menghentak banyak pihak.
Pertama, pada Maret 2021, publik dikagetkan dengan aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan. Dan, selang sebulan kemudian, pada April 2021, publik digemparkan dengan video viral perempuan berpistol yang nekat menyerang Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) di Jakarta.
Satu kesamaan dari dua peristiwa teror itu, yakni sama-sama dilakukan oleh generasi milenial. Bahkan, pelaku penyerangan Mabes Polri adalah perempuan kelahiran 1995.
”Pengguna internet terbesar di Indonesia adalah pemuda. Sementara, daftar pelaku teror itu juga diisi sosok muda berusia 18 hingga 26 tahun,” kata entrepreneur dan graphologist Diana Balienda saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema ”Pentingnya Literasi Digital sebagai Antisipasi Radikalisme” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (15/9/2021).
Diana lalu menunjuk temuan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam laporannya pada semester I 2021 lalu, yang mengungkap bahwa generasi milenial menjadi kelompok yang mudah terpapar radikalisme dari media sosial. Media sosial disinyalir telah menjadi inkubator radikalisme.
”Dengan kondisi Indonesia yang majemuk ini, pemuda seyogianya menjadi Hansip Dunia Maya. Harus bisa turut menjaga internet yang sehat dan ruang digital bebas dari paparan konten negatif yang berbahaya, khususnya sebaran paham radikalisme dan terorisme,” ujar Diana, dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu.
Diana menuturkan, dengan kemampuan dan jejaring luasnya, pemuda perlu dorongan untuk berpartisipasi aktif dan menjadikan internet lebih aman, nyaman, dan bermanfaat dengan mengurangi konten-konten negatif. Dan, lebih banyak menyebarkan konten positif.
”Kita butuh pendalaman soal digital safety, sehingga kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menganalisis dan meningkatkan tingkat keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari terus terasah,” tegasnya.
Ancaman dunia digital tak sekadar penyebaran radikalisme dan terorisme. Ada juga phising atau pemalsuan di mana metode ini digunakan seseorang untuk mengelabui orang lain. Yang paling diwaspadai dari phising jika sudah menyasar data privat pengguna seperti data bank meliputi nomor rekening, pin ATM, nomor kartu serta data kartu kredit.
Narasumber lain webinar ini, dosen Universits Tidar Magelang Danu Wiratmoko menimpali, radikalisme merupakan paham atau aliran yang radikal dalam politik dan sikap ekstrem yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan.
“Cara yang diinginkan radikalisme ini sifatnya drastis. Untuk melawan radikalisme di dunia digital yakni dengan cara meningkatkan kemampuan berliterasi, bagaimana menguasai media sosial dan menciptakan forum-forum diskusi yang membendungnya,” kata Danu.
Danu menyebut perlunya upaya bersama menjadikan media digital sebagai tempat publikasi untuk mengungkap ide-ide positif. Dengan cara menguatkan budaya digital yang sehat.
Dimoderatori Harry Perdana, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber lain: Retno Kusumastuti (Lektor UI Depok), Arif Lukman Hakim (aktivis sosial, dosen UII Yogyakarta) serta Indira Wibowo selaku key opinion leader. (*)