BATANG –Head of Studies Center for Family and Social Welfare Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta Saeroni mengatakan, keamanan digital (cyber security) menjadi isu penting saat ini. Khususnya bagi generasi yang terlahir ketika semua lini kehidupan sudah tersentuh perkembangan teknologi digital.
Tersentuhnya berbagai aspek hidup dengan teknologi tinggi disertai tak terbatasnya akses dan jumlah pengakses informasi telah membuka peluang kejahatan, di mana setiap celah keamanan bisa menjadi pintu masuk berbagai aksi pencurian data hingga kejahatan lain.
”Untuk menjaga keamanan digital anak, bisa mencoba menerapkan prinsip 5P,” kata Saeroni saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Menjadi Pengguna Internet yang Beradab” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Rabu (15/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Saeroni merinci 5P yang dimaksud: pertama adalah soal prinsip Profile. Prinsip Profile ini mendorong pengguna untuk ingat, jangan pernah membagi secuil pun informasi personal di ruang digital. Usahakan hanya menggunakan nama pendek ketika online.
Prinsip 5P yang kedua, adalah Permission. ”Dalam prinsip ini, pengguna anak diajak memastikan bahwa mereka memiliki izin untuk memelihara, melihat, dan membagikan informasi yang diketahui orangtua atau orang dewasa di sekitarnya,” ujar Saeroni.
Adapun 5P yang ketiga, adalah prinsip Privasi. ”Dalam prinsip Privasi ini, segala informasi personal juga kerahasiaan password tidak dibagikan kepada siapa pun,” tegasnya.
Sedangkan prinsip keempat 5P adalah Protect. ”Biasakan menyimpan bukti perilaku negatif yang diterima anak. Jangan membully balik dan melaporkan pada orang dewasa,” tutur Saeroni. Lalu prinsip 5P yang kelima adalah Positive. ”Prinsip positif ini mengajak untuk memastikan anak hanya membagikan informasi positif. Jangan membagi hal negatif atau membully lainnya,” ujar Saeroni.
Saeroni menambahkan, anak perlu dipahamkan pula cara merawat jejak digital yang baik, sejak mulai berkenalan dengan ruang digital. Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan upaya menggunakan akun berbeda untuk berbagai keperluan bermain, pendidikan, pekerjaan rumah, ataupun belanja.
”Selalu update sistem operasi dan pasang antivirus, serta gunakan kombinasi karakter yang kuat untuk kata sandi, dan jangan lupa atur privasi di perangkat akun media sosial sesuai dengan target unggahan konten atau foto,” ujar Saeroni.
Narasumber lain dalam webinar kali ini, penulis dan kolumnis Iqbal Aji Daryono berpendapat, sifat media sosial yang sulit dihindari adalah memancing pengguna agar selalu berbagi berbagai hal. Padahal hal yang dibagikan itu belum tentu positif.
”Kita dipancing untuk terus berbagi di media sosial, tentang apa pun, baik berbagi aktivitas, lokasi, konsumsi, pikiran, preferensi politik, ideologi, privasi keluarga, bahkan data diri,” kata Iqbal.
Adapun dosen Universitas Ngurah Rai Cokorde Istri Dian Laksmi Dewi dalam paparannya mengungkap survei Microsoft tahun 2020 yang menyebut warganet Indonesia paling tidak sopan se-Asia Pasifik, dapat menjadi bahan evaluasi dalam berperilaku di dunia digital agar lebih baik.
”Faktor yang mempengaruhi indeks survei Microsoft itu yang perlu dicermati. Bahwa buruknya penilaian itu karena ruang digital kita masih dipenuhi dengan sebaran hoaks, scam, penipuan, bullying dan ujaran kebencian,” tutur Cokorde.
Riset yang dipublikasi Microsoft tahun 2020 itu dilakukan 4 April sampai Mei 2020 dengan melibatkan 16.000 responden kaum muda dan dewasa, serta menempatkan Indonesia di rangking ke-29 dari 32 negara yang paling tidak sopan.
Dipandu oleh moderator Rara Tanjung, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Frida Kusumastuti (dosen Universitas Muhammadiyah Malang dan anggota Japelidi), serta Sri Rejeki selaku key opinion leader. (*)