SEMARANG – Setiap warga negara mempunyai hak untuk mengakses, menggunakan, membuat dan menyebarluaskan media digital. Hak digital terdiri atas hak untuk mengakses dan hak untuk merasa aman.
Hal itu diungkapkan oleh dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung, Santi Indra Astuti, dalam webinar literasi digital bertema ”Cerdas dan Bijak Berinternet: Pilah Pilih Sebelum Sebar” yang digelar Kementerian Kominfo untuk warga Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (16/9/2021).
Santi mengatakan, adanya hak itu pun harus diiringi dengan kewajiban. Yakni, menjaga hak atau reputasi orang lain maupun menjaga keamanan nasional atau keterlibatan masyarakat dalam kesehatan atau moral publik. Adapun wujud dari hak digital itu, menurut Santi, yakni akses digital yang berupa terhubung dengan peranti digital yang membuka kesempatan untuk berpartisipasi secara elektronik dalam ruang digital.
Kemudian kebebasan mencari, menerima, dan berbagi informasi atau kebebasan berpendapat yang menjadi prasyarat demokrasi. Lalu, mendapatkan perlindungan data tentang kondisi diri yang tidak ingin diketahui oleh orang lain tanpa seizin pengguna, agar tidak disalahgunakan.
”Hak digital juga mencakup hak eksklusif yang timbul sebagai hasil olah pikir serta kreativitas yang membuahkan produk atau proses berguna bagi manusia,” tutur Santi di depan lebih dari 400 partisipan webinar.
Santi menambahkan, dengan adanya hak-hak tersebut maka sudah seharusnya pengguna melakukan akses digital sebaik-baiknya. Seperti dengan mengakses sumber informasi yang valid, sehingga dapat terhindar dari jebakan hoaks, membantu dalam mengambil keputusan, hingga menyelamatkan orang lain ataupun diri sendiri dari fitnah atau tuduhan palsu.
Masih menurut Santi, dalam kebebasan berekspresi, berkreasi, beropini dan mengungkapkan aspirasi, pengguna bisa berpartisipasi secara positif di ruang digital. Tidak mengandung unsur pornografi, penyebaran ujaran kebencian, fitnah dan hasutan, diskriminasi, serta provokasi kekerasan, permusuhan dan memecah belah persatuan.
Untuk itu, imbuh Santi, pengguna digital juga harus mempunyai pilar-pilar literasi digital. Yakni, cakap digital berupa kemampuan individu dalam mengetahui, memahami dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak teknologi informasi dan komunikasi, serta sistem operasi digital.
Bagi Santi, pilar budaya digital merupakan kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari. Pilar selanjutnya, adalah etika digital, yakni kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital dalam kehidupan sehari-hari.
Narasumber berikutnya, penulis konten sekaligus penerjemah Zulfan Arif mengatakan, beretika digital berarti menggunakan media digital dengan semestinya, dan diarahkan pada suatu niat, sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama dan meningkatkan kualitas kemanusiaan.
Menurutnya, tantangan etika di ruang digital itu yakni realitas baru yang seharusnya tidak mengubah seseorang menjadi berbeda dari realitas di dunia nyata. Adapun disrupsi teknologi digital yang berlangsung dengan sangat pesat telah mempengaruhi tatanan perilaku masyarakat. Lalu rendahnya literasi digital yang menyebabkan seseorang ter-deindividualisasi, sehingga berani melakukan hal-hal yang negatif sebab merasa aman bersembunyi di balik layar gadget.
”Tingginya penggunaan media sosial di Indonesia ini juga akan meningkatkan penyebaran hoaks konten negatif, pesan provokasi dan ujaran kebencian yang bisa menimbulkan konflik,” paparnya.
Dipandu moderator Agung Prakoso, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Amni Zakasyi (dosen Universitas Diponegoro), Mujiantok (founder Atsoft Technology), dan seniman Ones selaku key opinion leader. (*)