BANYUMAS – Entrepreneur dan juga graphologist Diana Balienda mengingatkan kembali sebuah kejadian viral yang sudah berlangsung lebih dari setahun silam, soal aksi seorang Youtuber Bandung Ferdian Paleka yang mengunggah video prank demi menambah jumlah subscriber-nya.
Dalam kontennya, Ferdian merekam aksinya saat membagikan bantuan paket sembako berisi sampah kepada para transpuan di Kota Bandung. Namun bukan subscriber yang bertambah. Sang Youtuber justru dilaporkan, diburu polisi dan akhirnya ditangkap serta dijerat dengan pasal berlapis Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Dalam era digital ini, jangan sekadar mengikuti tren, namun justru lupa bahwa yang dilakukan merugikan diri sendiri dan orang lain,” ujar Diana,
saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Menjadi Pengguna Internet Yang Beradab” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (16/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti 512 peserta itu Diana mengingatkan, era digital memang memanjakan generasi dengan berbagai kemajuan yang diberikan. Termasuk soal ekonomi. Mereka yang bisa beradaptasi kemudian mengikuti perkembangan platform-platform digital bisa menangguk untung besar. Salah satunya dengan produksi konten yang bisa mendatangkan banyak pengunjung atau viewers.
“Konten yang diproduksi tentunya konten-konten yang positif, yang menebar kebaikan, manfaat, yang memanusiakan manusia. Bukan konten yang memberi sampah kepada waria seperti itu,” tegas Diana.
Diana pun mengingatkan khususnya para konten kreator, sah-sah saja mencari keuntungan ekonomi dari era digital saat ini dengan berbagai cara. Namun ia juga wanti-wanti, Indonesia punya UU ITE sebagai dasar hukum untuk menindak siapapun dengan hukuman berat berupa denda dan penjara bagi yang dinilai tak mematuhi norma hukum, kesusilaan, etika dan kesopanan itu.
“Oleh karena itulah dalam memanfaatkan kemajuan teknologi ini pengguna digital juga perlu mempelajari adab, agar bisa memahami dan memberdayakan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki untuk memberi manfaat diri sendiri dan orang lain,” urai Diana.
Narasumber lain dalam webinar ini, pegiat advokasi sosial Ari Ujianto mengatakan, beradab menggunakan internet artinya memahami ruang lingkup etika digital. Yakni, paham soal kesadaran, integritas/kejujuran, kebajikan, dan tanggung jawab.
“Beradab memakai internet perlu sadar penuh bahwa segala tindakan yang dilakukan bisa dipertanggungjawabkan, karena ini negara hukum di mana berbagai tindakan menanggung konsekuesi atau risiko di mata hukum,” ujar Ari.
Namun, Ari menambahkan, etika digital itu baru akan terbangun bilamana pengguna memiliki kompetensi digital. Dari kompetensi inilah pengguna dikenalkan dengan netiket dalam mengakses, menyeleksi, mengolah dan menganalisis informasi yang menjadi bagian utama dari konten yang diproduksi.
“Netiket ini sebagai upaya membentengi diri dari tindakan negatif, kompetensi ini menjadi arah pengguna dalam berinteraksi di ruang digital secara aman,” tutur Ari.
Kompetensi ini, lanjut Ari, sebagai panduan memproduksi dan mendistribusikan informasi, memverifikasi pesan sesuai standar netiket dan berpartisipasi dalam membangun relasi sosial. “Pengguna saat ini perlu kompetensi dalam berkolaborasi mengelola data dan informasi dengan aman dan nyaman,” tegas Ari.
Sementara itu, Peneliti Magister Administrasi Publik (MAP) UGM Nanik Lestari mengatakan, untuk dapat berinternet sehat prinsip think before posting atau saring sebelum sharing masih menjadi jurus terampuh menghindarkan pengguna dari masalah hukum serius.
“Pengguna digital perlu paham juga, ada pilar penting untuk keamanan berinternet, yakni menyeleksi informasi yang diterima, khususnya dalam menangkal hoaks,” ujar Nanik.
Nanik menambahkan, terampil menggunakan search engine untuk mencari materi informasi, perlu pastikan kebutuhannya dan tetap bersikap kritis. Dalam arti kritis terhadap informasi pastikan link atau benar dan terpercaya komparasikan sumber-sumber berita yang valid.
Webinar yang dipandu Rahmat Ibrahim selalu moderator ini, juga menghadirkan narasumber dosen UIN Sahid Surakarta Evelyne Henny Lukitasari dan Cinthia Karani selaku key opinion leader. (*)