JEPARA – Bangsa Indonesia berada di peringkat nyaris paling buncit minat bacanya. Kondisi minat baca bangsa Indonesia yang memprihatinkan ini diungkap peneliti Alterasi Indonesia Sunaji Zamroni, merujuk laporan “Most Littered Nation In the World” yang dilansir Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016.
“Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca.
Minat baca Indonesia hanya menang di atas negara Bostwana yang berada di peringkat 61 dan persis berada di bawah Thailand yang berada di peringkat 59,” ujar Sunaji saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Bangkitnya Budaya Membaca Generasi Muda Era Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Kamis (16/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti dua ratusan peserta itu, Sunaji memaparkan, dari segi infrastuktur untuk mendukung membaca, Indonesia sebenarnya tak kalah di atas negara-negara Eropa yang masuk 10 besar bangsa dengan minat baca tertinggi dunia.
Peringkat 10 besar negara dengan minat baca tertinggi di dunia yang pertama dipegang Finlandia, kedua Norwegia, ketiga Islandia, keempat Denmark, kelima Swedia, keenam Swiss, ketujuh Amerika Serikat, kedelapan Jerman, kesembilan Latvia, dan kesepuluh Belanda.
“Yang lebih memprihatinkan, ketika kita menjadi bangsa yang malas membaca, tapi dianggap sebagai bangsa paling cerewet di medsos,” tegas Sunaji. Dengan situasi yang berkembang itu, Sunaji menilai penting membangun literasi media. Tingginya minat baca atau matangnya literasi berkorelasi dengan upaya menekan ancaman-ancaman era digital saat ini.
“Tingginya pemahaman literasi menjadi bagian upaya memerangi fake news atau hoaks, sekaligus mengembangkan narasi tanding sehingga tak ada celah lagi di ruang digital upaya adu domba atau memecah belah bangsa,” kata Sunaji.
Lebih jauh, Sunaji menguraikan, bersihnya ruang digital juga terkait penggunaan layanan digital yang memegang prinsip keamanan digital. Hal ini dimulai dari cara pengguna mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis dan meningkatkan kesadaran digital safety. Kesadaran digital safety yang dimaksud mulai soal cara proteksi di dunia maya khususnya rekam jejak digital.
Dalam proteksi perangkat digital, ujar Sunaji, perangkat digital memang didesain sudah aman digunakan. “Tetapi fitur pada perangkat keras dan lunak sering tak dipahami atau diabaikan,” cetusnya.
Yang dimaksud proteksi perangkat keras meliputi kata sandi, fingerprint autentification, juga face authentification. Adapun proteksi perangkat lunak seperti find my device, back up data, antivirus enkripsi full disk, juga shreder.
Sunaji lantas mengajak pengguna digital untuk memahami kembali perlindungan identitas digital dan data pribadi. Sebab, akun yang diretas dan data pribadi yang bocor adalah ancaman keamanan digital yang nyata bagi warga digital.
“Melindungi identitas digital menjadi pilihan yang tak bisa ditawar lagi,” tegasnya. Baik untuk identitas yang terlihat seperti nama akun, foto profil pengguna, deskripsi pengguna. Maupun identitas yang tak terlihat meliputi PIN, password atau sandi, two factor authentification dan OTP.
Untuk melindungi identitas, ujar Sunaji, pastikan memilih menggunakan identitas asli atau samaran saat mengelola akun platform-platform digital serta bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Lalu, amankan identitas utama, yakni alamat surat elektronik surel yang kita gunakan untuk mendaftar suatu platform digital dan lindungi serta konsolidasikan identitas digital dalam berbagai platform digital yang dimiliki.
“Gunakan password yang sulit, lakukan setting privasi di setting akun media sosial yang digunakan, dan jangan memberikan informasi mengenai data pribadi terlalu banyak di media sosial,” tegas Sunaji, seraya berpesan agar aman, saat melakukan transaksi keuangan e-banking tidak menggunakan wi-fi di tempat publik.
Narasumber lain dalam webinar ini, Head of Operation PT Cipta Manusia Indonesia Rizqika Alya Anwar mengatakan, era digital memungkinkan seseorang mengerjakan banyak hal atau multitasking menggunakan smartphone-nya.
Ada yang mendengarkan musik, menonton video, mencari lokasi, melihat cuaca, berkomunikasi dengan orang lain, sampai menganalisis data. “Dengan kecanggihan itu, membaca menjadi bagian yang seharusnya mendapat alokasi waktu lebih banyak, dengan memanfaatkan berbagai sumber-sumber terpercaya,” tegasnya.
Webinar yang dipandu Rara Tanjung sebagai moderator, juga menghadirkan narasumber dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur Jakarta Denik Iswandani Witarti, Kepala Disdikpora Kabupaten Jepara Agus Tri Harjono serta Brian Khrisna selaku key opinion leader. (*)