BANJARNEGARA – Platform media sosial telah merevolusi kemampuan kita untuk terhubung melintasi kesenjangan sosial, politik, dan geografis. Perkembangan ini memberi peluang besar buat berekspresi, namun juga memperluas dampak dan kerugian yang ditimbulkan melalui disinformasi dan ujaran kebencian.
“Masyarakat Jaringan (network society) adalah struktur sosial yang terbentuk karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi,” ujar dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Sriwijaya Nurly Meilinda saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital bertema ”Menjadi Pelopor Masyarakat Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Kamis (16/9/2021).
Nurly Meilinda mengatakan, teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang saat ini memungkinkan komunikasi berjalan ke semua arah pada level struktur mana pun, tanpa perlu diwakilkan. Masyarakat modern sedang dalam proses menjadi masyarakat jaringan. Ini berarti bahwa dalam internet interpersonal, organisasi, dan komunikasi massa menjadi suatu kesatuan.
”Orang-orang menjadi terhubung satu sama lainnya dan memiliki akses informasi dan komunikasi dengan satu sama lain secara terus-menerus. Menggunakan internet membawa ‘seluruh dunia’ ke rumah dan tempat kerja,” kata Nurly.
Proses transformasi digital, menurut Nurly, menimbulkan tantangan berupa paparan informasi negatif (iklan clickbait), serta berpengaruh pada kepribadian (individualis dan kurang peka). Tantangan lainnya, yaitu kemudahan berkomunikasi menyebabkan munculnya sikap spontanitas yang keluar begitu saja tanpa pikir panjang.
Menjadi pelopor masyarakat digital, kata Nurly, bisa berarti tidak terlibat dalam hoaks, konten negatif, maupun perundungan digital yang masing-masing akan mengakibatkan kerugian baik diri sendiri maupun orang lain. Sebaliknya, untuk menjadi pelopor masyarakat digital butuh kemampuan pemahaman etika digital atau netiquet.
”Kompetensi etika digital lainnya yakni, pengetahuan mengenai informasi yang mengandung hoaks, ujaran kebencian, pronografi, perundungan dan konten negatif lainnya, maupun pengetahuan dasar berinteraksi, partisipasi, dan kolaborasi di ruang digital yang sesuai dengan kaidah etika digital dan peraturan yang berlaku,” jelas Nurly.
Nurly menambahkan, untuk menjadi pelopor masyarakat digital, beberapa syaratnya ialah menggunakan bahasa yang baik dan sopan, tidak mengandung SARA dan pornografi, bijaksana dalam memberikan tanda love dan berkomentar, bijaksana dalam meneruskan informasi yang diterima, tidak meneruskan informasi yang telah dipotong atau diedit sebelumnya.
”Penting juga menghindari membagikan screenshots percakapan yang dapat merugikan orang lain, selalu sertakan sumber dan melindungi hak cipta saat menyebarkan informasi atau karya, jangan takut melaporkan akun yang bermasalah dan meresahkan, hindari berbagi informasi yang bersifat pribadi di media sosial,” jelas Nurly.
Nurly berharap, dalam setiap pngambilan keputusan di dunia digital harus dikembalikan pada prinsip etika digital: kesadaran, tanggung jawab, integritas, dan nilai kebaikan.
Berikutnya, dari perspektif digital culture, etnomusikolog Madha Soentoro berpendapat, tidak mudah membangun satu sistem komprehensif secara kultural maupun tekstual. Mengalih mediumkan ruang hidup sehari-hari ke dalam satu sistem ruang maya namun tetap nyata.
”Generasi milenial dan alpha sebagai generasi digital native seharusnya mampu menjadi pioner dalam menciptakan entitas masyarakat melek digital,” kata Madha Soentoro.
Menjadi pelopor masyarakat digital, lanjut Madha, generasi milenial dan alpha mesti memiliki kemampuan kecakapan digital (digital skills), yakni kemampuan individu dalam penguasaan dan pemanfaatan piranti digital baik hardware maupun software, menjadi elemen penting dalam optimalisasi fitur digital, tools sosial, dan potensi masyarakat.
”Instrumennya adalah: ide, gagasan, konsep dan tujuan; kenektivitas ruang; platform dan sasaran,” tandas Madha. Adapun menjadikan digital sebagai sarana hidup, maka butuh kesadaran berinternet, penggunaan sosial media dengan tepat, pemanfaatan infrastruktur digital dengan tepat, dan sumber daya yang memadai.
”Era digital harus disambut dengan baik dan bijaksana. Pemanfaatan ruang multi-guna akan menunjang kegiatan hidup manusia menjadi lebih efektif dan efisien,” pungkas Madha mengakhiri paparan.
Dimoderatori entertainer Harry Perdana, webinar kali ini menghadirkan narasumber Gervando Jeorista Leleng (Co-founder Localin), Zahid Asmara (Filmaker dan Art Enthusiast), dan Dilla Fadiela (Putri Indonesia Perdamaian 2018) selaku key opinion leader. (*)