KEBUMEN – Sudah dua tahun, karena pandemi Covid-19, tradisi mudik Lebaran terasa beralih bentuk. Dulu, sebelum pandemi, jutaan kaum muslim apa pun kondisi ekonominya tetap memaksa pulang kampung mudik saat Lebaran. Ndak mudik ndak afdhol. Tapi pandemi membatasi itu menjadi tak bisa dilaksanakan dua lebaran ini. Lalu apa solusinya?
Karena kondisi pandemi dan faktor kemajuan tranformasi digital, tradisi mudik jadi berubah, kini cukup lewat video call. Sekarang adab dan budaya mudik dipaksa berubah tradisi. Ada orangtua di Kebumen punya anak empat, satu di Jakarta lainnya di Kuala Lumpur, Surabaya bahkan Papua. Sudah dua kali Lebaran adab sungkemnya lewat video call.
”Memang kurang afdhol, karena ndak bisa ketemu dan ndak bisa nyicipin kacang bawang dan nasi penggel opor tradisinya wong Bumen. Tapi ini konsekuensi pandemi dan solusi digital yang mau ndak mau jadi jembatan untuk bisa menjaga adab tradisi anak tetap bisa menghormat dan menjaga silaturahmi dengan orangtua,” cerita Agus Salim Chumaidi, dosen IAINU Kebumen, saat tampil dalam webinar literasi digital dalam program Indonesia Makin Cakap Digital yang digelar oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Kebumen, 1 Juli lalu.
Memang, kemajuan era digital juga mengubah perilaku adab ilmuwan para dosen dalam memperkaya informasi dan mengembangkan ilmu pengetahuannya. Sekarang, kita bisa berdiskusi webinar dengan zoom meeting, melibatkan ratusan bahkan bisa ribuan peserta yang mengikuti.
Belum lama, kata Agus Salim, dirinya juga berseminar dan kelas diskusi dengan dosen-dosen UGM, membahas beberapa topik, cukup dengan aplikasi serupa sekarang ini. Ia juga berhemat, tak perlu pergi ke UGM di Jogja, yang tentu menambah lelah dosen sepuh seperti dirinya.
”Dengan zoom meeting, saya bisa diskusi tukar pikiran dengan kolega dosen. Bukan hanya dari UGM, tapi dari banyak universitas di Jawa, luar Jawa bahkan dari luar negeri. Bisa Malaysia atau Brunei, menjadi cepat bahkan dialog seketika langsung direspon. Sesuatu yang tak terpikir bertahun silam,” papar Agus Salim.
Agus menambahkan, yang penting dipahami, baik bersilaturahmi di dunia maya maupun ketemu nyata di kelas kuliah, kita mesti menjaga etika. Di dunia maya disebut sebagai netiket alias internet etiket. Apa yang kita sampaikan di dunia nyata dan maya, mesti menjaga akhlakul kharimah, menjaga akhlak yang terpuji, dan kalau bisa menjadi insan kamil, teladan dan manfaat bagi orang sekitar.
”Kalau tata krama itu dijaga insyaAllah kita selamat di dunia nyata maupun dunia maya, juga akhirat. Karena, keburukan yang kita tinggal di dunia maya disebut jejak digital akan abadi dan berdampak buruk buat kita di dunia nyata,” pesan Agus Salim.
Dalam webinar yang kali ini membahas topik ”Menjadi Masyarakat Lebih Berkeadaban di Era Digital”, Agus Salim tampil dipandu oleh moderator Dannys Citra. Webinar juga menghadirkan tiga pembicara lain: Saga Iqranegara dari Kadin Yogyakarta dan CEO Servitia; Aulia Putri Juniarto, fasilitator digital safety dari Kaizen Room; Ade Irma Sukmawati, dosen Ilmu Komunikasi yang juga anggota Japelidi (Jaringan Pegiat Literasi Digital) dari Universitas Teknologi Yogyakarta; serta Dede Fajar Kurniawan, digital management dan social media specialist yang tampil sebagai key opinion leader.
Ade Irma Sukmawati berpendapat, menjaga adab dan tata krama di dunia maya di era digital sama pentingnya dengan tata krama di dunia nyata. Karena memang kemajuan teknologi memunculkan tantangan baru dalam berinteraksi di dunia baru yang tak terbatas, namun tetap dengan manusia yang berhati dan perasaan. Karena itu, tetap menghormati warganet sama pentingnya dengan menghormati keluarga dan tetangga kita.
”Jangan mudah mempercayai informasi yang banjir tanpa batas di internet. Ingat, kalau televisi yang ratusan channel memunculkan banyak informasi kita di Indonesia dari 274 jutaan penduduk ada 170 jutaan warganet yang bisa punya beberapa akun, dan mereka tiap hari juga produksi postingan dan sebar konten, makin penting untuk kita budayakan saring dan checking informasi yang ada agar tetap menjadi warga berbudaya dan berkeadaban,” Ade Irma mewanti-wanti.
Checking sebelum sharing itu kunci menjaga jejak digital kita tetap bagus dan tak merusak nama baik kita di masa depan. Kalau belum mampu membuat konten yang bermanfaat, ya, menjadi penerus sharing konten orang, tapi mesti seleksi dulu apakah konten itu bermanfaat buat masyarakat, juga buat keluarga kita. Jangan karena sembarang sharing, kita malah dituduh penyebar informasi bohong.
”Asal sebelum nge-share kita selalu mengecek kebenaran infonya, penting tidaknya dan jaga agak tak berdampak hukum, kita bisa selalu jaga diri kita tetap beradab dalam interaksi sosial di dua dunia yang kita genggam di ponsel kita ini,” pesan Dede Fajar Kurniawan. (*)