WONOGIRI – Menghadapi perundungan di ruang digital atau cyberbullying bukan perkara sepele, karena konten negatif itu nyaris setiap saat bisa kita temui saat mengakses platform media digital.
Princeton Bridge Year On-Site Director Indonesia Sani Widowati mengungkapkan, fenomena cyberbullying jika ditarik lebih jauh ke belakang akan bertemu dengan apa yang disebut akar kekerasan.
Akar kekerasan sendiri bersumber dari dua hal. Pertama, instingtif yakni niat itu alamiah ada di dalam diri manusia dan bisa muncul tanpa sebab apapun. Yang kedua, dari stimulus atau karena pemicu dari faktor eksternal dan dibentuk oleh faktor kebiasaan dan budaya.
“Nah, faktor bullying di dunia digital ini pemicunya seringkali karena adanya kondisi yang tidak seimbang pengguna digital dan kekuatan anonymous ruang digital. Terlebih diketahui 14 persen pelaku cyberbullying sebelumnya pernah menjadi korban,” ujar Sani saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Menganalisis Kasus Cyberbullying dan Cara Menghentikannya” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Senin (20/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti hampir 700 peserta itu, Sani melanjutkan, tak satu pun teori yang menjamin dan memudahkan kita terhindar keluar dari lingkaran cyberbullying ketika itu sudah menjadi bagian dari budaya di ruang digital. Namun ada beberapa cara antisipatif yang memperkecil potensi kita terhindar dari perilaku bullying.
“Ada bagian kontrol diri, toleransi, empati, dan jejak digital yang perlu ditekankan untuk mengantisipasi cyberbullying ini,” tegas Sani.
Sani membeberkan, dalam mendampingi korban bullying bisa ditempuh dengan sikap empati. Yang berfokus pada penanaman rasa percaya diri korban. “Bisa dicoba dengan menawarkan bantuan misalnya membantu dengan cara memblokir pelaku atau screenshot kejadian. Tapi paling penting tetap mencoba mendengarkan dengan sabar apa yang dirasakan korban,” kata Sani.
“Bila perlu, cari bantuan profesional untuk membantu korban mengatasi dampak cyberbullying itu,” Sani menambahkan.
Sani menguraikan, mengikis tradisi buruk cyberbullying di ruang digital juga perlu dilakukan secara holistik. Salah satunya mengasah kecerdasan emosional digital para pengguna. Empati digital, lanjut Sani, bisa ditumbuhkan dengan fokus mengolah kemampuan kognitif dan emosional pengguna untuk menjadi reflektif dan bertanggung jawab secara sosial saat menggunakan media digital.
“Dari sini, akan tumbuh kesadaran dan manajemen digital, sehingga pengguna bisa meningkatkan kesadaran pribadi diri sendiri serta memahami bagaimana sebenarnya konsep pribadi diri berinteraksi di ruang digital,” tegas Sani.
Sani menambahkan perlunya manajemen diri di ruang digital, sehingga proses mengubah perilaku cyberbullying ini dapat diminimalisir. “Penting pula menekankan pengguna soal manajemen relasi, agar bisa mengatur hubungan dan menerapkan batasan keterlibatan dan tanggung jawab secara sosial di dunia digital,” urai Sani.
Sani menilai, setiap pengguna bisa berperan menghentikan perilaku bully dan tidak menjadi korban bullying bila sikap saling empati dan menghormati sesama itu sudah tertanam.
Narasumber lain dalam webinar itu, advokat yang juga konsultan hukum dan trainer Teguh Suroso menuturkan, penyebab cyberbullying dari suatu penelitian dipicu karena sejumlah hal. Yakni, karena penampilan seseorang (61 persen), riwayat akademis atau kecerdasan (25 persen), seksualitas (15 persen), status finansial (15 persen), agama (11 persen) dan faktor lain (28 persen)
“Yang paling sering ditemui dari beragam perilaku cyberbullying ini salah satunya menyebarkan berita bohong atau hoaks, yang mempermalukan, mengancam dan menyakitkan sasaran yang dituju,” kata Teguh.
Meski demikian, lanjut Teguh, cyberbullying bisa juga berwujud
meniru identitas orang lain, lalu melakukan tindakan atas nama orang itu dan membuat pesan yang sifatnya menjatuhkan reputasi yang ditiru.
“Cyberbullying pun terjadi ketika ada kejadian sekelompok pengguna digital mengucilkan secara daring, membuat situs atau grup kebencian, menghasut untuk mempermalukan atau menebar kebencian tentang sasarannya,” urai Teguh.
Teguh mewanti-wanti, bilamana cyberbullying sudah berwujud tindakan flaming atau pertengkaran yang melibatkan kemarahan yang dilakukan via pesan elektronik dan bersifat melontarkan pesan ancaman dan hinaan yang kejam secara berulang-ulang.
”Yang tak kalah menyakitkan dari cyberbullying adalah denigration, di mana ada tindakan menghina seseorang dengan cara mengirim atau memuat rumor yang mengakibatkan rusaknya reputasi seseorang,” tegas Teguh.
Teguh mengimbau para pengguna digital bersikap lebih arif, karena
cyberbullying dampaknya kadang bisa lebih dari yang mereka perkirakan, sehingga bisa membawa konsekuensi hukum. Cyberbullying bagi korban bisa berdampak pada sikap menyakiti diri sendiri, menghapus profil media sosial, berpikir untuk mengakhiri hidup, dan depresi mengalami kecemasan sosial. “Jadi, awas, jarimu harimaumu,” tegas Teguh.
Webinar yang dimoderatori Dimas Satria ini juga menghadirkan narasumber lain, yakni filmaker Zahid Asmara, tim pengembang konten Dinas P dan K Kabupaten Wonogiri Budhi Prayitno, serta Bella Ashari selaku key opinion leader. (*)