REMBANG – Ini fenomena nyata di keluarga Indonesia zaman sekarang. Sekar, 18 tahun, dan adiknya Rama, 8 tahun. Karena serumah, hampir tiap hari nyaris semua perilaku Rama ketika saling ledek difoto dan divideo, lalu diposting di satu akun medsos Sekar. Buat Sekar, itu menarik dan lucu untuk di-sharing di akun medsosnya.
Hingga suatu hari, Rama ngambek dan nangis cukup lama. Tapi kejadian itu justru divideo dan diposting oleh Sekar. Begitu tahu aksi nangisnya diposting di medsos sang kakak, Rama makin marah. Nah, bagaimana tanggapan peserta webinar ini? Siapa yang mendukung Sekar dan siapa tim pembela Rama?
Novi Kurnia, PhD, dosen Ilmu komunikasi Fisipol UGM, mengupas fenomena Sekar vs Rama itu untuk membuka diskusi dalam Webinar Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital, yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 1 Juli lalu.
Meskipun adik sendiri, apakah tindakan Sekar memposting video Rama menangis, yang mestinya satu hal privat dan membuat malu, boleh dibenarkan? Cukup banyak peserta webinar yang justru membela marahnya Rama dan menyalahkan Sekar.
”Ya, meskipun adik sendiri, bukan berarti semua aktivitas privat Rama, apalagi sedang menangis, mestinya ditutupi, jangan disebar ke publik lewat medsos. Tapi itulah remaja zaman sekarang, belum paham mana hak dan privilege pribadi yang boleh di-share dan dilarang, atau setidaknya dihindari dilakukan di ruang publik internet,” ujar Novi, yang juga Koordinator Nasional Japelidi (Jaringan Pegiat Literasi Digital).
Memang, data yang dimiliki Novi menyebutkan, para netizen atau warganet saat ini masih banyak yang menjadikan internet hanya sebagai sarana menikmati beragam platform media sosial (90,6%), untuk mengakses informasi lebih cepat (78,8%) dan sekadar untuk menonton hiburan baik film ataupun musik (52,28%).
”Terlebih, realitas di Indonesia, pertumbuhan jumlah populasi netizen atau warganet lebih cepat daripada pertumbuhan penduduknya. Netizen tumbuh 8,9% selama 2020, sedangkan pertumbuhan penduduk hanya 1,03%. Ini membuat banyak netizen yang beraktivitas di medsos tanpa paham kenal tata krama atau netiket, semacam Sekar tadi,” jelas Novi serius.
Sekar mestinya melindungi hak dan data pribadi adiknya lebih aman, bukan malah membaginya. Kecerobohan membagi data pribadi seseorang di ruang medsos saat ini justru memunculkan banyak masalah baru.
”Sepanjang 2019 saja, kita mencatat ada 1.507 kasus penipuan digital. Dan Bareskrim Polri di bagian cyber crime, polisi siber di sana mendapat aduan 4.250 kasus cyber crime dengan kerugian hampir Rp 50 miliar. Ini mestinya bisa dicegah. Kalau banyak netizen dan remaja yang cakap digital, bisa dididik ditingkatkan kecakapan digitalnya, agar paham mana yang mestinya boleh dan tidak boleh dilakukan,” papar Novi.
Novi Kurnia menambahkan, adalah penting memahami kecakapan digital dalam hal proteksi, baik itu perangkat kerasnya, proteksi identitas digitalnya: mana yang mesti dilindungi dengan double password atau password yang unik agar tak mudah diretas, juga memahami menjaga diri agar jejak digital terjaga baik dengan tidak mudah menebar posting hoaks atau ujaran kebencian, karena itu semua buruk dampaknya di masa depan.
”Pendidikan itu penting dikembangkan dan disebarluaskan pada para netizen Indonesia. Japelidi sudah banyak membuat buku modul yang membahas isu-isu tersebut. Silakan peserta mengakses jaringan Japelidi dan bisa download secara gratis,” pesan Novi, yang alumnus Flinders University Australia.
Selain Novi Kurnia, diskusi virtual bertopik ”Pendidikan Generasi Muda di Era Digital” yang dipandu moderator Fikri Hadil itu juga menghadirkan tiga narasumber lain. Yakni, M. Tobroni SS, dosen Universitas Borneo; Dr. Indra Ratna Irawati Pattynasarany, dosen Fisipol Universitas Indonesia, dan Dr. Murdianto, Wakil Rektor Insuri yang juga founder Yayasan Pendidikan Nurul Afkar. Selain mereka, hadir pula Tya Lestari, mom influencer yang tampil sebagai key opinion leader.
Menyambung diskusi, M. Tobroni mengutip data BPS 2020 mengatakan, pandemi ternyata telah mendongkrak naiknya angka pengangguran nasional lintas pendidikan dan usia. Jika pada 2019 angkanya 7,10 juta, naik menjadi 9,7 juta orang pada 2020. ”Sementara, data BPS juga mencatat, kaum baby boomer yang masih produktif di usia 65 tahun ada sekitar 11% dari populasi penduduk yang 274,9 juta, sementara kaum produktif milenia yang jago digital 63%.
”Ini jelas peluang kerja kolaboratif antar-dua kelompok usia untuk menangkap peluang bersama, membuat kerja yang solutif untuk menjadi karya, dan memproduksi konten-konten positif guna menjadi landasan terbukanya peluang kerja baru yang bisa menampung banyaknya pengangguran secara efektif,” kata Tobroni.
Dengan teknologi digital, lanjut Tobroni, kerja kolaboratif itu mestinya lebih cepat dan mudah diwujudkan. Pendidikan kaum milenial mestinya diarahkan untuk mencetak pribadi yang kreatif dan cakap digital sebagai modal basisnya. ”Ayo milenial, segera ambil prakarsa itu. Kalau bukan milenial, siapa lagi? Kalau tidak sekarang, kapan lagi?” seru Tobroni, memungkasi diskusi. (*)