GUNUNG KIDUL – Wacana moderasi beragama memiliki relasi dan posisi yang penting bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, praktik moderasi beragama belum optimal kita praktikkan secara utuh dalam kehidupan sosial sehari-hari.
”Untuk itu, kita perlu membangun semangat sebagai masyarakat Indonesia yang beragam (heterogen),” ujar Peneliti Madya Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kemenag RI Dr. Evi Sopandi saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital bertajuk ”Moderasi Beragama dan Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (21/9/2021).
Evi Sopandi mengatakan, dalam rangka membangun semangat kesadaran heterogenitas masyarakat, kita perlu merefleksi kembali bagaimana dan dengan cara apa kita memperkuat wacana dan praktik moderasi beragama dalam pergaulan sosial di arena digital? Sekaligus, praktiknya di arena sosial kehidupan riil kita sehari-hari?
Dalam konteks kekinian, lanjut Evi, moderasi beragama cenderung diartikulasikan tidak secara utuh dalam cara beragama kita. Tidak sedikit masyarakat yang menilai bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak teguh pendiriannya, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agamanya.
Orang yang mempraktikkan moderasi beragama cenderung dilabelkan sebagai kaum yang liberal. Lantas, apa itu moderasi beragama? Tentu upaya untuk mendefinisikan moderasi beragama menjadi penting, supaya moderasi beragama tidak disalahartikan dan dapat kita praktikkan dalam hidup beragama, berbangsa dan bernegara.
Secara etimologis, menurut Evi, moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Istilah tersebut juga dapat diartikan sebagai penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan).
”Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, pertama: pengurangan kekerasan, dan kedua: penghindaran keekstreman. Adapun dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun
(berimbang),” jelas Evi Sopandi.
Dari narasi di atas, masih menurut Evi, moderasi beragama dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Artinya, moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan.
Menurut Evi, dengan moderasi dalam beragama niscaya akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap pemecah belah dalam beragama. Moderasi beragama sesungguhnya juga merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional maupun global.
”Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian,” tegas Evi Sopandi.
Evi Sopandi menambahkan, tantangan membangun moderasi beragama di masa kini, yakni berdasarkan hasil penelitian Litbang Kementerian Agama tentang ’Pengembangan Moderasi Beragama’ di lembaga pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Hindu dan Buddha (2019), menunjukkan bahwa sikap moderat dalam beragama belum menjadi kesadaran bersama untuk dijadikan modal dasar menginisiasi dan membangun relasi sosial keagamaan yang jauh lebih erat dan produktif, baik untuk tujuan keagamaan itu sendiri maupun tujuan kebangsaan secara luas.
”Hasil penelitian tersebut menunjukkan, moderatisme dijalankan
sebatas kebutuhan dan keyakinan personal pemeluk agama, belum
menjadi gerakan bersama yang bisa mewarnai cara pandang masyarakat
secara umum untuk menciptakan kehidupan yang harmonis,” pungkas Evi Sopandi.
Sementara itu, pegiat nasional literasi digital Riant Nugroho mengatakan, sikap moderasi beragama perlu terus diupayakan mengingat banyak generasi muda kini rentan terpapar radikalisme maupun terorisme. Ini dibuktikan dengan beberapa survei oleh institusi, baik pemerintah maupun lembaga independen.
”Survei Alvara Research Center dan Mata Air Foundation menemukan 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen siswa SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah. Lalu, 19,4 persen PNS, 18,1 persen pegawai swasta, dan 9,1 persen pegawai BUMN menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila,” papar Riant Nugroho.
Survei lain, lanjut Riant, misalnya yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang menemukan tingginya angka radikalisme di kalangan mahasiswa. Ada sekitar 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi terpapar radikalisme, ujarnya.
Dipandu moderator Nadia Intan, webinar kali ini juga menghadirkan Nuzran Joher (anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI), Sa’ban Nuroni (Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gunung Kidul), dan Jurnalis Adew Wahyu selaku key opinion leader. (*)