SEMARANG – Di era digitalisasi pembelajaran, guru memiliki tugas untuk mengenalkan dan mengajarkan empat pilar literasi digital: digital ethics, digital culture, digital skills, dan digital safety kepada siswa-siswinya. Pemahaman literasi digital menjadi penting untuk membekali anak didik dalam berselancar terkait kebutuhan belajar agar mampu menggunakan perangkat digital dan internet sebagaimana fungsi dan sesuai porsinya. Itulah isu pokok yang dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (21/9/2021).
Dimas Satriya (penyiar radio) memandu diskusi virtual ini dengan mengajak empat narasumber. Mereka adalah Erlan Primansyah (technology entrepreneur), Mohammad Solichin (Kepala Pendmad Kanwil Kemenag Kab. Semarang), Muawwin (penulis), dan Fatchur Rochman (Kepala Kanwil Kemenag Purworejo). Selain itu, ikut hadir sebagai key opinion leader dalam diskusi adalah Miss Halal Tourism 2018 Riska Yuvista.
Berbicara dari perspektif keamanan digital, Erlan Primansyah menjelaskan, aktivitas digital pada prinsipnya perlu dibarengi dengan melindungi data pribadi dan privasi pengguna yang menjadi aset digital. Data pribadi seperti nomor ponsel, nomor rekening, identitas kependudukan merupakan aset yang harus disimpan, dirawat dan dijaga kebenarannya serta dilindungi kerahasiaannya.
”Jangan sampai aset berupa data pribadi dan privasi itu menyebar ke orang lain, karena bisa disalahgunakan untuk hal yang bisa merugikan kita. Lindungi data pribadi dengan tidak menampilkannya di ruang publik serta membuat keamanan kuat berupa password yang terdiri dari kombinasi huruf besar dan huruf kecil, angka dan simbol serta memperbaruinya secara berkala. Password ini menjadi perlindungan di awal agar orang lain tidak bisa masuk ke akun kita,” jelas Erlan Primansyah kepada seratusan peserta webinar.
Pengguna media digital perlu memaksimalkan keamanan personal dari risiko keamanan penggunaan internet. Meliputi perlindungan diri dari kejahatan digital, mengurangi risiko menjadi korban cybercrime, serta keamanan dalam transaksi daring.
”Agar aktivitas daring aman, pastikan untuk menggunakan aplikasi resmi dan situs-situs yang terverifikasi. Aplikasi dan situs tidak resmi berkemungkinan disisipi malware yang dapat merusak perangkat atau menjadi sarana melakukan tindak kejahatan. Hindari transaksi penting ketika menggunakan jaringan publik,” lanjutnya.
Melanjutkan diskusi, Muawwin mengatakan, kecakapan digital perlu dimiliki peserta didik agar mampu memilah dan memilih informasi yang benar sebagai sumber belajar. Di era digital ini, mencari sumber pembelajaran tidak hanya terbatas pada buku ataupun e-book, media sosial juga berperan dalam menyerap informasi.
Sayangnya, lanjut Muawwin, media sosial juga menjadi tempat bercampurnya informasi fakta dan informasi bohong atau hoaks. Di sinilah kemudian kecakapan digital perlu dikuasai. Sebab, hoaks dapat terlihat seperti informasi fakta yang kebenarannya telah dimanipulasi. Atau, karena banyak yang mempercayainya, informasi yang salah itu dianggap menjadi informasi yang benar.
”Agar tidak terjebak pada informasi hoaks, kita harus waspada dengan artikel atau berita yang memiliki judul provokatif atau memaksa. Cek kebenaran berita melalui Cekfakta.com atau Turnbackhoax.id. Mengecek keaslian foto dengan Google Images, berpartisipasi dalam diskusi anti-hoaks, serta melakukan pelaporan jika menemukan informasi yang mengandung hoaks ke Aduankonten.id,” jelas Muawwin.
Ditambahkan, kesalahan dalam merespons informasi akan membawa dampak negatif bagi pengguna. Terlebih, media sosial memang memiliki dampak dalam mempengaruhi persepsi dan perilaku publik, turut andil dalam pengambilan keputusan dan membentuk opini publik.
”Selain kecakapan dalam menangkis hoaks, siswa dan masyarakat digital juga perlu belajar menjadi manusia yang beradab melalui sikap sehari-hari. Mampu memaknai sesuatu yang penting dan bermanfaat, dan mampu bekerja sama menciptakan sesuatu yang berguna bagi kehidupan,” tutup Muawwin. (*)