SEMARANG – Indonesia terlahir sebagai negara majemuk yang kaya ragam kebudayaan. Hal itu didukung dengan peta geografis sebagai negara kepulauan dengan 16 ribu lebih pulau, juga memiliki 1.331 suku bangsa dengan 716 bahasa daerah. Diperkuat dengan perekat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika menjadikan perbedaan dan keragaman budaya Indonesia justru memperkokoh bangsa hingga kini.
”Kini, dengan lahirnya digitality dalam budaya bangsa, hal itu bisa menjadi mark of culture, penanda budaya. Dengan begitu, ketahanan budaya bisa dijaga dengan kuatnya keberagaman budaya. Karena dengan digitality budaya, kita punya dokumen digital yang kuat. Kita makin bangga mengenalkan budaya kita ke dunia global dan memasarkan produk batik – yang jelas penanda budayanya – misalnya, sebagai karya adiluhung Indonesia, tradisi yang diakui Unesco,” ujar M. Yunus Anies, dosen Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Solo, saat mengawali bahasan dalam webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Semarang, 1 Juli 2021.
Memang, justru di era disrupsi sebagai dampak digitality di bidang kebudayaan, cukup banyak perubahan sikap kaum milenial yang kurang suka dan tidak mau menonton beragam karya budaya tradisi khas Indonesia. ”Tapi ini justru menjadi tantangan bagi generasi baby boomer dan milenia untuk mau berkolaborasi, berkreasi, berinovasi, membuat gelaran karya modern seni batik di inovasi yang lebih menarik desain dan gambar coraknya sesuai selera zaman,” kata Yunus.
Selain itu, lanjut Yunus, buatkan juga aneka tari tradisional yang dipoles dengan tarian modern sehingga asyik dan makin menarik ditonton oleh semua lapis usia. Lantas, karya batik, gelaran seni tari atau pertunjukan tradisi itu didokumentasikan secara digital. Kemudian di-share ke berbagai media sosial agar membanjiri medsos dengan kreativitas karya budaya yang makin memperkaya dan memperkokoh wawasan, serta menjadi benteng ketahanan budaya Indonesia,” saran Yunus.
Yunus Anies memaparkan materi diskusi bertema ”Wawasan Kebudayaan dalam Transformasi Digital” dipandu moderator Dannys Citra bersama tiga pembicara lain, yakni: Wulan Tri Astuti (dosen Fakultas Ilmu Budaya – UGM), Amni Zarkazy Rahman (dosen FISIP Undip Semarang), dan Ali Formen Yudha (dosen UNNES Semarang), serta Aprilia Ariesta, kreator konten yang tampil sebagai key opinion leader.
Melanjutkan diskusi, Ali Formen mengatakan, dalam merespons dinamika dunia digital saat ini, seniman dan budayawan memang mesti belajar cepat agar bisa mengejar rapid change. ”Perubahan cepat, karena kita semua di semua lini kehidupan berbangsa, termasuk seniman dan budayawan, mesti tanggap dan tangguh menghadapi era disrupsi. Digitalkan karyamu atau karyamu bakal ditinggal zaman,” kata Ali.
Sementara, Wulan Tri Astuti menimpali, ada hal lain yang juga membutuhkan solusi dan perhatian serius, yakni peran bahasa daerah yang makin terkikis dalam laju digitalisasi. Banyak orangtua yang lebih bangga mengajarkan bahasa Indonesia dan mengenyampingkan bahasa daerah. Akibatnya, seperti dicatat Depdikbud, ada 11 bahasa daerah yang mengalami kepunahan alias dying language karena tiadanya penutur atau penerus tutur.
”Padahal, di kampung saya di Sleman, saya malah jadi dapat privilege jatah sate ayam laris buatan orang Madura yang buka warung dekat rumah saya. Gara-garanya sepele. Saat beli, saya mengucap sekalimat ’matur sakelangkong, Cak’ (terima kasih dalam bahasa Madura). Nah, hal itu membuat mereka diuwongke dan mengingat saya sebagai pelanggan khusus di hati mereka,” tutur Wulan.
Sebaliknya, suatu saat ada tetangga baru dari suku luar Jawa yang tak bisa berbahasa Jawa. Dia berulang buang sampah nebeng di tong sampah Wulan. ”Saya tegur dalam bahasa Jawa, ’Ojo dibuang kono, Mas’, jangan buang di situ. Tentu tidak paham. Baru dia berhenti setelah saya tegur dalam bahasa Indonesia. Di sini penggunaan dan penguasaan bahasa daerah tetap diperlukan. Begitu juga kalau kita berinteraksi dan berkomunikasi dengan banyak warga internet yang berasal dari beragam suku bangsa di Indonesia,” cerita Wulan.
Jadi? ”Menggunakan bahasa daerah saat berinteraksi dengan warga internet dari suatu suku, dengan bahasa daerah yang tepat dan sopan, niscaya akan mempererat silaturahmi dan memperkuat kebhinekaan kita. Itulah cara kita menjaga keindonesiaan di dunia digital. Jadi, mari utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah dan kuasai bahasa asing agar kita terus maju. Berkembang tapi tetap berjiwa dan berkebudayaan Indonesia,” ujar Wulan. (*)