GROBOGAN – Menjadi pelopor masayarakat digital berarti mampu menyampaikan (verbalisme), menunjukkan (contoh), dan mempraktikkan (aksi) untuk sekelompok individu yang hidup dan berkembang di suatu kondisi kehidupan atau zaman dimana semua kegiatan yang mendukung kehidupan sudah dipermudah dengan adanya teknologi.
”Masyarakat digital umumnya tumbuh dan memiliki kecakapan terkait Ilmu Pengetahuan dan teknologi (ketrampilan), produk masyarakat (budaya), sikap dan perilaku (etika), daya tahan dan perlindungan (keamanan),” ujar pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Dwi Harsono Ph.D saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Grobogan, Rabu (22/9/2021).
Dalam diskusi virtual bertema ”Menjadi pelopor Masyarakat Digital”, Dwi Harsono berharap digital native mampu menjadi pelopor masyarakat digital. Digital native mengacu pada generasi yang tumbuh berkembang di tengah-tengah teknologi digital atau di era teknologi informasi, yakni generasi Y dan generasi Z yang kini usianya di bawah 40 tahun.
Dwi Harsono mengatakan, digital native bukan berarti mengerti teknologi, meskipun 83 persen milenial mengaku tidur dengan smartphonenya. Belum lagi 58 persen milenial memiliki keterbatasan kecakapan (digital skills) dalam memecahkan masalah terkait teknologi digital.
”Digital skills adalah kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK serta sistem operasi digital. Kecakapan itu meliputi: lanskap digital, mesin pencarian informasi, aplikasi percakapan dan media sosial, dompet digital, lokapasar, dan transaksi digital,” sebut Dwi Harsono di depan ratusan partipan webinar.
Kemampuan digital skills milenial terhadap lanskap digital, berarti mampu memahami nama kolektif yang menggambarkan tentang lingkungan situs web, email, jejaring sosial, perangkat seluler (tablet, iPhone, smartphone), video (YouTube), dan lainnya. Di samping itu mereka juga mesti paham persoalan perangkat keras maupun piranti lunaknya.
”Perangkat keras seperti komputer dekstop, notebook/laptop, netbook, tablet, dan telepon pintar. Adapun piranti lunak, misalnya driver atau divice, sistem operasi, dan aplikasi yang semuanya terhubung dengan jaringan internet,” tutup Dosen Administrasi Publik itu.
Narasumber lain dalam webinar ini, Kepala Seksi Pengelolaan Aplikasi Informasi Dinas Kominfo Kabupaten Grobogan Wahyuningrum menyatakan masyarakat digital abad 21 merupakan masyarakat yang identik dengan corak berinteraksi menggunakan teknologi digital dan terbiasa berinteraksi menggunakan media baru. ”Implementasi masyarakat digital bukan hanya hadir secara fisik, tetapi virtual dengan berbagai platform,” katanya.
Lalu, seperti apakah masyarakat digital? Masyarakat digital itu menggunakan perangkat digital pada pelayanan publik dan kontribusi masyarakat (digital citizenship). Contohnya: pembuatan KK, KTP, NPWP, maupun aduan masyarakat. Selain itu, masyarakat digital menggunakan perangkatan digital dalam kehidupan sehari-hari (digital lifestyle).
”Untuk berkomunikasi, mendapatkan informasi, melakukan aktivitas berkomentar, menyebarkan berita, mencari pakaian yang lagi tren, dan lainnya,” sebut Wahyuningrum. Selanjutnya, masyarakat digital itu juga menggunakan perangkat untuk aktivitas ekonomi, bisnis, perdagangan maupun bertransaksi bisnis melalui berbagai platform (digital commerce).
Menjadi pelopor masyarakat digital, menurut Wahyuningrum, dasarnya adalah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, yakni mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila di ruang digital sekaligus membebaskan ruang digital dari konten negatif, seperti: pornografi, ujaran kebencian, pelanggaran hak cipta, cyberbullying, kekerasan, malware, perjudian, penipuan, narkoba, kabar bohong (hoaks), SARA, maupun radikalisme hingga terorisme.
Dipandu moderator penari tradisional Ayu Perwari, webinar kali ini juga menghadirkan M. Jadul Maula (Budayawan dan Penulis), Rinduwan (GP Ansor Grobogan), dan Suci Patia selaku key opinion leader. (*)