SUKOHARJO – Programer dan Konsultan Teknologi Informasi Eka Y. Saputra mengajak masyarakat lebih waspada dan berhati-hati saat berada di ruang digital. Pasalnya, selain konten negatif, ruang digital juga rawan terjadi perundungan dunia maya (cyberbullying) maupun predator siber (online predatory) yang mengancam anak-anak dan remaja.
”Agar tak menjadi korban cyberbullying dan predator online, perlu mengenal risiko keamanan dan mitigasi teknologi informasi bagi anak dan remaja,” ujar Eka Y. Saputra saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital bertema ”Memanfaatkan Ruang Digital sebagai Sarana untuk Meningkatkan Prestasi” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (23/9/2021).
Eka mengatakan, cyberbullying atau perundungan dunia maya ialah bullying/perundungan dengan menggunakan teknologi digital. Hal ini dapat terjadi di media sosial, platform chatting, platform bermain game, dan ponsel. Cyberbullying umumnya berperilaku agresif dan bertujuan, bisa dilakukan suatu kelompok atau individu.
”Cyberbullying akan dilakukan secara berulang-ulang dari waktu ke waktu, terhadap seseorang yang dianggap tidak mudah melakukan perlawanan atas tindakan tersebut. Jadi, terdapat perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban. Perbedaan kekuatan dalam hal ini merujuk pada sebuah persepsi kapasitas fisik dan mental,” jelas Eka kepada 300-an partisipan webinar.
Tujuan cyberbullying, lanjut Eka, untuk menakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran. Contohnya: menyebarkan kebohongan tentang seseorang atau memposting foto memalukan tentang seseorang di media sosial. Mengirim pesan atau ancaman yang menyakitkan melalui platform chatting, menuliskan kata-kata menyakitkan pada kolom komentar media sosial, atau memposting sesuatu yang memalukan atau menyakitkan.
”Namun ada juga yang meniru atau mengatasnamakan seseorang, misalnya dengan akun palsu atau masuk melalui akun seseorang dan mengirim pesan jahat kepada orang lain atas nama mereka. Bentuk cyberbullying bisa berupa penghinaan, fitnah, umpatan, ancaman, impersonalisasi, pengucilan, maupun pelecehan seksual,” imbuh Eka.
Selanjutnya, mirip dengan cyberbullying, namun predator online lebih fokus pada tindakan pelecehan seksual yang biasanya dilakukan pria dewasa kepada anak-anak di bawah umur dengan berbagai motif. Biasanya mereka menjerat calon korban dengan berpura-pura ramah dan berusaha menjadi teman para pengguna internet anak-anak dan remaja.
”Perilaku predator online bersifat eksploitatif dan pelecehan seksual, gangguan psikis, namun ada juga yang bermotif ekonomi. Pelaku bisa seorang psikopat atau kriminal, melalui media sosial, aplikasi perpesanan, atau game, dan menargetkan anak-anak atau remaja, bentuknya sexting, sextortion, dan revenge porn,” papar Eka.
Mitigasi risiko kejahatan siber bagi anak kuncinya memperhatikan dan intensif berkumunikasi. Selain itu, aktifkan fitur child protection, ajarkan etika siber, perbanyak aktivitas luring, kenalkan kanal pendampingan.
Berikutnya, entrepreneur Widiarmorojati dari perspektif digital culture menyatakan Pancasila harus jadi pedoman menggunakan ruang digital, atau berdigital yang menjaga nilai budaya dan nilai bangsa.
Menurut Widiasmorojati, nilai utama sila pada Pancasila sila-1 itu cinta kasih, yakni: berakhlak baik, jujur, dan tidak menipu. Selanjutnya, nilai sila ke-2 setara, yang berarti respek, toleransi, dan empati. Nilai sila ke-3 ialah harmoni, artinya tidak egois, tidak provokatif, tidak hoaks, dan tidak SARA.
”Nilai berikutnya, yakni demokratis yang merupakan nilai dari sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan gotong royong yang merupakan nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” jelas Widiasmorojati.
Widiasmorojati menambahkan, nilai demokratis di ruang digital berarti menjadi problem solver, bukan trouble maker. Adapun nilai gotong royong, akan saling membutuhkan satu sama lain (kolaborasi) dan saling menguntungkan.
Dipandu moderator Safiera Aljufry, webinar kali ini juga menghadirkan Nyarwi Ahmad (Dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM), M. Jadul Maula (Budayawan), dan Shafa selaku key opinion leader. (*)