SEMARANG – Populasi pengguna internet pada 2019 mencapai 180 juta orang. Pengguna internet aktif sebanyak 150 juta. Dengan jumlah yang demikian besar, maka berbagai paham keagamaan, mulai yang paling ekstrem (keras) sampai yang paling lunak, sangat berpotensi menjadi pasar bebas yang bisa diakses siapapun.
Pendapat itu disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Dr Achmad Maulani saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu, (22/9/2021).
Dalam webinar bertema ”Media Sosial sebagai Sarana Meningkatkan Toleransi dan Demokrasi”, Achmad menyebut Indonesia telah menjadi pasar bebas pertarungan ideologi-ideologi Islam global. Berbagai ideologi Islam berhamburan di tengah arus kebebasan dan keterbukaan. Salah satu faktor pendorong utamanya adalah peran media digital atau teknologi Informasi yang tak terbendung dan tak bisa dihindari.
”Pelan tapi pasti, gempuran model-model keberagamaan yang kadang tidak sesuai dengan tradisi masyarakat kita masuk begitu saja melalui peran teknologi informasi,” ujar Achmad Maulani di depan 740-an partisipan webinar.
Lalu, pertanyaanya, bagaimana membendung paham-paham intoleran yang massif di media digital? Satu yang bisa dilakukan ialah memenuhi ruang-ruang di media maya dengan konten-konten dan perbincangan yang mengarah pada moderasi beragama.
”Moderasi beragama adalah sebuah pemahaman kegamaan yang menghargai perbedaan dan menebar rahmat. Celah-celah padangan yang eksklusif, sempit, ekstrem, menganggap pihak lain salah harus ditutup atau dipersempit,” tegas Staf Ahli Wakil Ketua DPR RI itu.
Fakta terbaru menunjukkan tentang dominannya paham intoleran di media sosial saat ini. Pemahaman konservatif tentang agama, bahkan menguasai perbincangan di media sosial sebanyak 67,2 persen. Sementara perbincangan tentang Islam moderat hanya 22,2 persen.
Selanjutnya, riset BNPT menyebutkan penyebaran paham radikal intoleran saat ini paling banyak dilakukan melalui media sosial (Facebook, twitter, Instagram, dan portal online lainnya). Penyebaran paham intoleran dilakukan dengan memanfaatkan chanel-chanel akun media sosial.
Menurut Achmad, kajian BNPT menyebut, dari survey yang dilakukan, sebanyak 85 persen generasi milenial terpapar paham radikal intoleran yang kebanyakan didapat dari dunia maya. Milenial menjadi kelompok yang paling banyak terpapar paham intoleran karena generasi ini mengakses internet ibarat masuk hutan belantara.
”Saat mencari konten keagamaan, ada kecenderungan menerima ceramah agama yang singkat sehingga tidak diterima secara utuh. Mereka juga belum mempunyai kempampuan berfikir kritis,” tegas Achmad Maulani.
Media digital harus diisi dengan konten-konten yang terus menyebarkan pemahaman keagamaan yang toleran, ramah dan menghargai perbedaan. Penyebaran pemahaman agama yang keras dan jauh dari nilai-nilai kemanuisaan harus dibatasi ruang geraknya. ”Agama tidak boleh menjadi monster yang menakutkan,” tandas Achmad Maulani.
Berikutnya, dosen Universitas Serang raya Delly Maulana menyatakan,
pandemi Covid 19 memberikan dampak yang signifikan terhadap transformasi digital, peningkatan sarana dan prasarana digital terus berkembang. Kondisi ini menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap konsep demokrasi saat ini.
”Digitalisasi demokrasi merupakan hal yang harus dikembangkan sehingga memberikan kualitas demokrasi di Indonesia,” ujar Anggota Indoneisan Association for Public Admintration (IAPA) itu.
Delly mengungkapkan, saat ini literasi digital merupakan oksigen bagi demokrasi. Oleh karena itu, kemampuan warga dalam menguasai literasi digital akan mampu membantu warga dalam mencari, memilih, memilah, mendistribusikan informasi, memproduksi dan berkolaborasi untuk menciptakan kualitas demokrasi di Indonesia.
”Selain itu, memberikan masukan kepada pemerintah dalam merumuskan, memonitoring, dan mengevaluasi kebijakan. Tentu dengan cara-cara yang santun dan tidak melanggar undang-undang,” jelas Delly Maulana.
Dipandu moderator Nabila Nadjib, webinar kali ini menghadirkan narasumber Rifelly dewi Asturi (Dosen dan Peneliti Departemen Manajemen FEB UI), Septyanto Galan Prokoso (dosen HI UNS), dan Shafinaz Nachiar selaku key opinion leader. (*)