SEMARANG – Kementerian Komunikasi dan Informatika RI menggelar webinar literasi digital untuk masyarakat Kota Semarang, Jawa Tengah, dengan tema “Menyikapi Kesenjangan Digital Antar Gender dan Kelas Sosial”, Jumat (24/9/2021). Kegiatan ini merupakan bagian dari gerakan nasional Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital yang bertujuan untuk meningkatkan kecakapan masyarakat dalam memaksimalkan penggunaan teknologi dan internet.
Diskusi virtual diisi oleh sejumlah pemateri; Sani Widowati (Princeton Bridge Year On-Site Director Indonesia), Mustaghfiroh Rahayu (dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Daniel John Mandagie (praktisi digital technology), Tri Yuningsih (dosen Universitas Diponegoro). Juga ada Julia RGDS (putri tenun songket Indonesia) sebagai key opinion leader). Masing-masing narasumber menyampaikan materi diskusi dari sudut pandang empat pilar literasi digital yang meliputi digital skills, digital safety, digital ethics, dan digital culture.
Mustaghfiroh Rahayu menyampaikan bahwa kesenjangan antar gender dan kelas sosial tidak hanya terjadi di kehidupan nyata, namun juga dalam akses teknologi di ruang digital. Padahal secara demokrasi hak akses digital itu mesti ada kesetaraan.
Ia mengutip dari INFID bahwa ada konsistensi kesenjangan antar gender dalam akses internet oleh laki-laki dan perempuan dalam beberapa tahun terakhir. Ada selisih akses internet yang selalu didominasi oleh laki-laki pada kurun waktu 2016 hingga 2021. Hambatan perempuan dalam akses internet setidaknya dipengaruhi faktor internal berupa keterampilan digital yang terbatas karena ada tugas domestik oleh perempuan, dan pemanfaatan TIK belum optimal karena anggapan urusan hal-hal teknik bukan hal wajib dan penting bagi perempuan. Sedangkan faktor eksternal meliputi infrastruktur digital yang belum merata, keterbatasan dana, dan akses listrik yang tidak optimal.
“Ketimpangan sosial dalam akses internet dipengaruhi beban berlangganan internet masih mahal bagi sebagian besar rumah tangga di Indonesia, kecepatan internet masih jauh tertinggal, dan belum maksimalnya infrastruktur digital khususnya di wilayah pinggiran dan luar pulau Jawa,” jelas Maghfiroh dalam acara yang dipantau oleh hampir seribu peserta webinar.
Realita tersebut, menurut Maghfiroh, menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah yang mesti dilakukan. Salah satunya terkait etika dan etiket bermedia digital. Etiket digital atau tata krama menggunakan media digital menjadi pondasi penting dalam berinteraksi dan komunikasi di ruang digital agar tidak lagi menyandang status sebagai warganet yang tidak sopan.
“Sadar bahwa ketika bermedia kita berhadapan dengan orang lain, maka berekspresi di media perlu mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut kenyamanan bersama. Ada tanggung jawab pada setiap aktivitas digital, perlu ada integritas dan kejujuran, serta selalu menebar kebajikan,” imbuhnya.
Etiket berdigital itu harus menghargai orang lain, teliti sebelum berbagi, tidak mencemarkan nama baik, menjaga privasi orang lain, berkomunikasi dengan sopan, berkomentar dengan baik, tidak membocorkan obrolan privat, dan tidak memaksakan pendapat.
Sementara itu Tri Yuningsih menjelaskan untuk mendukung kesetaraan dalam hal akses digital, diperlukan literasi yang mumpuni. Khususnya kecakapan dalam bermedia digital, kecakapan disini berlaku untuk siapa saja dan setiap pengguna media digital.
“Cakap digital berarti warganet harus tahu dan paham serta bisa menggunakan teknologi. Dan itu perlu didukung dengan kecakapan dalam berpikir kritis ketika menerima informasi, share with care atau berhati-hati dalam memberikan informasi, melindungi privasi, serta menjadi netizen yang baik dan berani,” jelas Tri Yuningsih.
Perempuan dan semua warga digital perlu berpartisipasi untuk saling memberikan kesempatan dalam berekspresi. Namun tetap dalam koridor yang baik. Misalnya dengan membuat konten-konten positif dan mengajak pada kebaikan, seperti konten berupa teks, infografis, video, meme, fotografi dan sebagainya. (*)