JEPARA – Informasi saat ini sudah menjadi sebuah komoditas yang sangat penting. Bahkan ada yang mengatakan bahwa masyarakat kita sudah berada di sebuah ”information-based society”.
”Kemampuan untuk mengakses dan menyediakan informasi secara cepat dan akurat menjadi sangat penting bagi sebuah organisasi, seperti perusahaan, perguruan tinggi, lembaga pemerintahan, maupun individual,” kata pengamat sejarah dan budaya Yunadi Ramlan saat menjadi narasumber pada webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Senin (20/9/2021).
Dalam webinar bertema ”Adaptasi Empat Pilar Literasi Digital untuk Siswa” itu, Yunadi mengungkap masalah keamanan menjadi aspek penting dari sebuah manajemen sistem informasi. Sayangnya, masalah keamanan ini sering kali kurang mendapat perhatian dari para pemilik dan pengelola sistem informasi.
”Seringkali masalah keamanan berada di urutan kedua, atau bahkan di urutan terakhir dalam daftar hal-hal yang dianggap penting. Apabila menggangu kinerja dari sebuah sistem, seringkali keamanan dikurangi atau ditiadakan,” jelas Yunadi kepada 200-an partisipan webinar.
Menurut Yunadi, siswa sebagai warga digital dunia memiliki tiga lapisan lingkungan yang menjamin keamanannya. Lapisan pertama adalah lingkungan belajar, dimana siswa memungkinkan belajar literasi digital, berkomunikasi digital, dan melakukan akses digital. Lapisan kedua yakni lingkungan sekolah, disini siswa dituntut mampu memahami keamanan digital, etika digital, serta melakukan hak dan kewajiban digital.
”Lapisan ketiga adalah lingkungan luar sekolah yang meliputi kesehatan digital, transaksi digital, dan hukum digital. Patut diingat, ancaman dunia digital sangat cepat dalam berevolusi karena jaringan berkembang dengan pesat baik dalam kecepatan maupun aplikasi yang melaluinya,” tutur Yunadi Ramlan.
Selain itu, lanjut Yunadi, aktivitas digital siswa juga tak lepas dari ancaman pencurian data (cyber espinage), kejahatan siber seperti penipuan, bullying, predator online (cyber crime), maupun cyber terrorism atau penggunaan internet untuk melakukan tindakan kekerasan yang mengakibatkan atau mengancam hilangnya nyawa atau kerugian fisik yang signifikan untuk mencapai keuntungan politik melalui intimidasi.
Untuk itu, siswa wajib paham empat pilar literasi digital yakni digital skills, artinya siswa mampu mengetahui, memahami, dan menggunakan hardware dan software TIK dalam kehidupan sehari-hari. Berikutnya digital culture, berarti siswa mampu membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan dan kebhinekaan dalam kehidupan.
”Selanjutnya digital ethics, siswa mampu menyadari, mencontoh, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan netiquette. Kemudian digital safety, siswa mampu mengenali, mempolakan, menganalisa, menerapkan, menimbang, dan meningkatkan keamanan data pribadi di internet,” pungkas Yunadi Ramlan.
Narasumber lain dalam webinar kali ini, Kasi Guru pada Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah Agus Mahasin, dari perspektif etika digital menyatakan etika digital (digital ethics) adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari.
”Etiket adalah tata cara individu berinteraksi dengan individu lain atau dalam masyarakat. Netiket adalah tata krama dalam menggunakan Internet dan diperlukan untuk memanajemen interaksi pengguna internet yang berasal dari seluruh dunia,” jelas Agus.
Menurut Agus Mahasin, etiket diperlukan ketika individu berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain, baik individu maupun orang banyak,
komunikasi satu orang ke satu orang lain baik melalui aplikasi chat, video call, email, dan lainnya, maupun komunikasi satu orang ke orang banyak, seperti komunikasi melalui komunitas atau group di aplikasi chat, virtual meeting app, web, youtube, IG, FB, blog (yang diakses oleh orang banyak).
”Ketika tiap orang bisa menggunakan perangkatnya untuk beriteraksi, maka ia akan bisa berpartisipasi; Ketika tiap orang bisa berpartisipasi dengan perangkatnya, maka ia bisa berkolaborasi untuk suatu tujuan tertentu; Ketika setiap orang bisa berinteraksi, partisipasi dan berkolaborasi diperlukan aturan bagi tiap individu menggunakan aturan (etiket) agar semua merasa nyaman,” terang Agus Mahasin.
Dipandu moderatur penari tradisional Ayu Perwari, webinar kali ini juga menghadirkan Nuzran Joher (Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI), Hidayatun (Kepala MTsN Kabupaten Semarang), dan Mohwid selaku key opinion leader. (*)