BREBES – Temuan Kementerian Perdagangan (Kemendag) ini sungguh kenyataan yang memprihatinkan, tapi sekaligus juga tantangan dan peluang buat pemain bisnis online kita. Apa yang ditemukan? Sampai tahun 2021, meski omzet perdagangan digital di Indonesia terus naik, dari Rp 340 triliun (2019), Rp 400-an triliun (2020) dan diproyeksikan lebih dari Rp 553 triliun pada 2021, sayangnya hampir semua duitnya terserap ke luar negeri.
Mengapa? Masih menurut data Kemendag, baru 12 persen produk lokal kita yang membanjiri pasar di beragam marketplace. Artinya, 88 persen isi dagangan di banyak marketplace itu produk impor. ”Bahkan, saya sering googling, ada beberapa marketplace yang 99 persen isinya masih barang impor. Tokonya mungkin punya kita, tapi isinya barang impor.” Nada kecewa itu disampaikan Tomy Widyatno, pekerja dan pengembang media seni dan pelaku bisnis online, saat tampil berbicara dalam webinar literasi digital gelaran Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Brebes, 6 Juli 2021.
Mengapa bisa terjadi? Tomy mengatakan, jangan harap bisa bersaing di harga, susah. Mereka market leader, khususnya yang dari China, dan kini semakin menjadi. Mulai dari mainan anak, fashion batik printing, makanan hewan, kebutuhan perlengkapan rumah tangga, sampai furniture plastik, dan banyak lainnya, mereka bisa memproduksi dengan biaya sangat murah.
”Pemerintah sempat menutup pintu 13 produk untuk melindungi produk kita. Tapi selama kita masih bikin dan jual produk kita dengan harga mahal, repot jualnya. Penjual di sini yang berburu barang murah ke sana. Karena, orang Jawa bilang, ’Nek kulake murah, adole cepet’ (Kalau kulakan murah, jualnya cepat). Untungnya juga lumayan. Rupanya, laba dan laku cepat telah mengalahkan nasionalisme dalam bisnis online,” tutur Tomy, menahan gemas.
So, tak adakah solusi buat produsen lokal untuk bersaing? Tomy meyakini, solusi itu pasti ada. Bukan cuma harus semakin jeli menggarap marketing di beragam platform pasar digital. Yang lebih penting, produksilah barang yang kreatif. Bikin diferensiasi. Pembeda yang unik. Kita jualan jamu herbal, tapi khasiatnya yang akurat, lengkapi dengan uji BP POM. Atau, jualan beragam makanan tradisional.
Ayo, go digital-kan, ajak Tomy. Saat ini, mulai ada yang kalengkan rendang sapi dan beragam rendang, gudeg di-vacuum biar awet sampai Singapura, Australia atau Hong Kong. Makanan lokal juga banyak orang suka, asalkan fresh dan masih enak sampai di sana. Pempek, bakpia, dan beragam camilan yang disuka di negara-negara Arab dan Eropa, bisa emping, geplak Mbantul, klapetart Manado, dan banyak lagi.
”Bikin standar rasa, kemasan yang menarik, dan posting dengan konten video atau foto menarik. InsyaAllah pasar dunia buat produk lokal kita masih terbuka lebar. Pilih kanal pemasaran yang tepat. Mau yang berbayar atau belajar dari yang gratisan. Kuncinya, jaga jejak digital produk Anda terawat selalu positif,” pesan Tomy.
Tomy tampil membahas topik diskusi ”Membaca Peluang Ekonomi dan Memanfaatkan Perangkat Digital” secara daring di depan ratusan peserta dari seputar Kabupaten Brebes dan warga Pantura Jateng, yang berasal dari beragam profesi dan lintas usia. Dimoderatori oleh Hary Perdana, juga tampil tiga pembicara lain: Annisa Choiriya Muftadha (fasilitator Kaizen Room, Social Media Communication dari PT Cipta Manusia Indonesia), Zain Handoko (pengajar Pesantren Aswaja Nusantara), dan Joko Priyono fasilitator Gerakan Literasi Jateng. Ditambah Tya Lestari, moms influencer yang tampil sebagai key opinion leader.
Mengutip wejangan Menkoperasi UMKM Teten Masduki, pembicara dari Kaizen Room, Anissa Choiriya Muftada menyebut, Menteri Teten optimistis UMKM bisa segera move on dari pasar konvensional dan adaptif dengan pasar digital. UMKM juga paham selera pasar digital dan segera berinovasi dengan produk yang dimaui pasar digital. InsyaAllah akan survive dan panjang umur.
”Yang perlu dilakukan adalah menggunakan banyak aplikasi pengintip untuk mengetahui tren produk yang dicari pasar marketplace di Google dan lainnya. Agar mudah mencari tahu apa yang sedang digandrungi untuk segera dibuat produknya. Produk yang dicari dan dibuat dengan karya khas yang unik insyaAllah tetap laris,” papar Annisa. Bagaimana merintis toko online kalau belum bermodal cukup?
Zain Handoko dari Pesantren Aswaja mengajarkan para santrinya untuk membuka website marketing atau toko online yang banyak aplikasi, menawarkan jasa toko online gratis. Barangnya? Jadilah reseller, jual produk orang, bisa dari e-Bay, Amazon, dan banyak ragam produk: buku, parfum, lalu pasang di toko atau website marketing kita. Mereka akan urus pengirimannya, kita ambil komisi barang 4 persen saja. Ingat, bikin konten promosi yang menarik, itu kuncinya agar sold out.
”Hasilnya, banyak saudara dan santri saya bisa meraup dolar, malah dari reseller lewat toko online gratisan. Peluangnya banyak. Kuncinya, jangan malas mengeksekusinya. Sekarang juga, dari kamu, bukan orang lain. Jangan jadikan ponsel pintermu cuma mainan tak berguna. Ubah jadi brankas duit yang mengalir dari ide dan kreativitasmu,” ujar Zain Handoko, memungkas diskusi. (*)