BATANG – Ketersediaan informasi yang melimpah, khususnya yang beredar di jejaring media sosial, menyebabkan masyarakat sulit membedakan mana informasi yang benar (HAQ) dan mana yang palsu (HOAX). Berbagai studi menunjukkan bahwa masyarakat global semakin rentan terhadap berita dan informasi hoax, terutama kelompok dewasa akhir.
”Hal ini diperparah karena berita atau informasi hoax sengaja diproduksi oleh orang (kelompok) tertentu untuk tujuan tertentu,” kata dosen Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Waryani Fajar Riyanto saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema ”Strategi Menangkal Konten Hoax” yang digelar Kementerian kominfo untuk masyarakat Kabupaten Batang, Jawa Tengah, 30 Juni lalu.
Menurut Fajar, survei masyarakat telematika Indonesia (Mastel) tahun 2017 dan 2019 menunjukkan, hoax paling banyak terkait bidang sosial politik (93,2 persen), SARA (76,2 persen), pemerintahan (61,7 persen), kesehatan (40,7 persen), makanan dan minuman (30 persen), dan berikutnya ada hoax soal bencana alam, penipuan, Iptek, info pekerjaan dan lainnya.
Hal itu menunjukkan hoax telah merambah ke hampir semua bidang kehidupan. Bahkan, dari tahun ke tahun hoax, atau berita yang tidak benar dibuat seolah-olah menjadi berita benar adanya itu menunjukkan kecenderungan selalu meningkat. Lantas, bagaimana menangkal berita hoax? Apa saja yang perlu dilakukan untuk menangkalnya?
Fajar Riyanto mengatakan, informasi hoax pada umumnya meliputi lima unsur, yakni: ada ’pembuat’ hoax, ada ’informasi’ hoax yang dibuat, ada ’penerima’ hoax, ada ’penyebar’ hoax. Penyebar bisa si pembuat pertama kali, atau penerima berikutnya. Dan terakhir, ada ’kesengajaan’ dalam membuat dan menyebarnya, artinya ada niat untuk melakukannya.
Sedangkan elemen hoax, lanjut Fajar, biasanya menggunakan kalimat persuasif yang memaksa seperti: Sebarkanlah!, Viralkanlah!, dan sejenisnya. Kemudian, artikel penuh huruf besar dan tanda seru, merujuk pada kejadian dengan istilah seperti kemarin, dua hari yang lalu, seminggu yang lalu (tidak ada tanggal dan hari yang jelas), dan lebih merupakan opini dari seseorang, bukan fakta.
”Kemudian terkesan menakut-nakuti atau menyesatkan penerima berita, meneror seseorang atau sekelompok orang agar merasa takut, provokatif dan cenderung mengadu domba, menghujat seseorang atau golongan, memuji secara berlebihan (Lebay),” jelas Fajar di depan 250-an partisipan webinar.
Fajar mengungkapkan, cara menghadapi hoax bisa dilakukan dengan pendekatan personal, maupun melalui upaya yang dilakukan oleh pemerintah. Secara personal, yakni dengan cara mengenali hoax, mengelola dan memutus. Adapun pendekatan pemerintah, misalnya dengan membuat aturan atau kebijakan dan lainnya.
”Kenali judulnya yang provokatif, maupun foto. Kelola dengan mengecek alamat situs, pengirimnya, mengikuti grup diskusi anti hoax. Kemudian memutus dengan unfollow, unfriend, ataupun melaporkannya,” sebut Fajar Riyanto.
Berikutnya, pengajar Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta Rino Ardhian Nugroho menyatakan, hoax adalah informasi sesat dan berbahaya karena menyesatkan persepsi manusia dengan menyampaikan informasi palsu sebagai kebenaran. Hoax juga merupakan artikel berita yang disengaja dan dibuktikan salah dan bisa menyesatkan pembaca.
Sayangnya, lanjut Rino, sebuah hasil riset menyebutkan banyak anak muda generasi milenial cenderung mengabaikan ketika menerima berita hoak (35 persen), bahkan sebagian justru meneruskannya tanpa terlebih dahulu membaca apalagi memahami isinya (24 persen), dan 19 persen memberikan komentar terkait berita hoax.
”Untuk mengatasinya, maka bisa dimulai dari mengingatkan saat ada informasi yang salah tentang suatu fakta, sediakan cerita yang mampu mengisi kekurangan dari berita bohong/semburan kebohongan, memberikan informasi yang berdasarkan fakta lebih dulu daripada informasi berdasarkan berita bohong, arahkan para korban berita bohong/semburan kebohongan ke kegiatan yang lebih produktif, dan kembangkan konten positif, kreatif dan produktif di Internet,” sebut Rino.
Dipandu moderator entertainer Harry Perdana, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Juair (Kasi Kurikulum dan Kesiswaan Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Jawa Tengah), Imam Wahyudi (Dewan Pers 2013-2019), dan Megawati Prabowo selaku key opinion leader. (*)