GROBOGAN – Keberadaan teknologi informasi (TI) dengan produk turunannya berupa media sosial (medsos) diyakini memiliki kontribusi mampu meningkatkan kualitas pelaksanaan pemilu atau pesta demokrasi di Indonesi. Pada satu sisi TI bermanfaat memberikan kemudahan, pada sisi yang lain juga membuat panggung politik semakin gaduh.
“Pemilu merupakan pilar sistem demokrasi. Presiden Soeharto yang pertama kali memberi istilah “pesta demokrasi” sebagai jargon resmi pemilu 1982. Hingga kini pemilu masih dijuluki pesta demokrasi,” ungkap akademisi Cokorde Istri Dian Laksmi Dewi ketika menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Rabu (14/9/2021).
Di Indonesi, pemilu secara resmi dimulai pada 1955. Sempat vakum beberapa waktu karena karena situasi politik, pesta demokrasi akhirnya diselenggarakan lagi pada tahun 1971 dan 1977, seterusnya hingga kini setiap lima tahun sekali.
Menyampaikan materinya berjudul ”Menuju Pemilu Demokratis dan Berkualitas di Era Digital”, dosen Universitas Udayana Bali itu menjelaskan perbedaan penyelenggaraan pemilu masa lalu dengan sekarang. Titik utama perbedaan itu ada pada penggunaan teknologi internet.
Sekarang, kata Laksmi Dewi, politikus mau tak mau berkampanye melalui media internet, bahkan laporan pelanggaran pemilu dan pengawasan bisa disampaikan melalui medsos. “Sudah ada aplikasi Gowaslu berbasis teknologi informasi yang diciptakan sejak 2018 menjelang pilkada serentak. Pelaporan disertai syarat identitas pelapor,” jelasnya.
Dia mengakui, selain manfaat positif banyak diperoleh dari kemajuan TI namun ada banyak kejadian di dunia maya terkait pemilu yang memberikan kesan negatif. Sebut saja misalnya dari pembobolan situs KPU (Komisi Pemilihan Umum) maupun fenomena buzzer.
“Medos menjadi arena propaganda politik. Pelaku memanfaatkan pasukan siber bayaran untuk memanipulasi opini publik dengan nilai kontrak bayaran tertentu, mulai dari Rp 1 juta sampai Rp 50 juta,” kata dia.
Menjelaskan mengenai lika liku bisnis buzzer politik di negeri ini, menurut Laksmi Dewi, awalnya untuk kepentingan iklan promosi produk. Buzzer lazim digunakan untuk dunia pemasaran. Seiring berjalannya waktu peluang itu bisa digunakan untuk kepentingan politik utamanya mendukung tokoh politik.
Indonesia termasuk 70 negara di dunia yang diteliti oleh Universitas Oxford dengan fokus penelitian buzzer. Hasilnya? “Buzzer terpantau bekerja dalam organisasi politikus atau parpol serta kontraktor swasta. Buzzer di Indonesia paling banyak digerakkan manusia dan juga bot (robot). Buzzer umumnya tumbuh di negara berkembang dan jadi pilihan mata pencaharian, bekerja sendiri atau berkelompok. Ada coordinator,” paparnya.
Narasumber lain pada webinar ini, Ketua Atmawidya Alterasi Indonesia Titok Hariyanto, menyatakan prinsip penyelenggaraan pemilu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil. Harapannya pemilu menghasilkan pemerintahan yang memiliki derajat keterwakilan tinggi serta berpihak kepada masyarakat.
Menurut Titok, mengingat demokrasi mengagungkan pemilu di atas segalanya, di sinilah pentingnya edukasi terhadap pemilih untuk menjaga kualitas pentas politik tersebut. “Demokrasi hanyalah sekadar sebuah sistem di mana elit politik memperoleh kekuasaan untuk memerintah melalui satu pertarungan kompetitif guna mendapatkan suara rakyat,” terangnya.
Secara substantif demokrasi juga bermakna untuk menyelesaikan masalah keseharian, menghormati kebebasan, menciptakan rasa keadilan, menghormati HAM, dan mewujudkan kesejahteraan serta kemakmuran bersama.
Edukasi, lanjut Titok, bisa dilakukan dengan menciptakan ruang digital. Melalui interaksi di media sosial warga masyarakat bisa mengenali rekam jejak calon, program calon, mengawasi jalannya pemilu maupun bertukar informasi sesama pemilih. Interaksi itu harus disertai saling menghormati dan menghargai dan tidak memaksakan kehendak sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing. Dengan begitu akan tercipta pemilu yang transparansi dan akuntabilitas.
Dipandu moderator Oony Wahyudi, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Rahmat Afian Pranowo (fasilitator nasional), Daryono (editor Tribunnews), dan Bella Nabilla selaku key opinion leader. (*)