KEBUMEN – Indonesia dengan potensi keragaman budayanya harus terus dijaga dan dilestarikan khususnya di ranah digital. Dengan cara memperkuat karakter nilai-nilai Pancasila maka akan lahir budaya digital yang kreatif, aman dan nyaman. Inilah langkah-langkah untuk menjadikan warga digital yang Pancasilais yang menghargai multikultural.
“Manusia harus memiliki mental yang tangguh dan memiliki prinsip dalam menjalankan tugas-tugas berkomunikasi dengan orang lain. Sikap Pancasila yang ditunjukkan dalam berkegiatan kemanusiaan dalam berbagai kegiatan, salah satu aplikasinya melalui media sosial yaitu melalui penggunaan nilai-nilai Pancasila dalam berkomunikasi antar-sesama manusia,” ujar dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Muhammad Yunus Anis, saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Rabu (14/9/2021).
Menjadi warga digital yang Pancasilais relatif mudah yaitu harus dimulai dengan proses berpikir kritis. Berpikir kritis melatih seseorang tidak sekadar sharing, namun mempertimbangkan apakah konten yang akan diproduksi dan distribusikan selaras dengan nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Menjadi warga digital yang Pancasilais berarti siap untuk berhadapan dengan pengguna internet dengan latar belakang yang beragam. Tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama atau keberpihakan isu yang sama. Namun demikian, sangat penting kiranya melatih kematangan bermedia. Salah satunya adalah dengan belajar tidak mudah memutuskan pertemanan (unfollow, unfriend, block atau blokir) di media sosial dan media percakapan,” paparnya.
Berikutnya, mau belajar budaya daerah dan melihat pertunjukan pentas budaya daerah, tidak menganggap budaya lain itu rendah dibandingkan dengan budaya sendiri, menghindari sikap kedaerahan sentris, meyakini bahwa jika budaya daerah berkembang maka budaya nasional secara komulatif akan berkembang.
Yang terpenting adalah tidak berhenti mengenalkan budaya daerah di kancah nasional dan internasional berbasis digital. Dengan adanya kolaborasi, inovasi kebaruan dan kreasi seni harapannya masyarakat tidak masuk dalam kondisi jemu. “Jadikan budaya daerah sebagai identitas dan bukti kecintaan kita pada bangsa dan negara Indonesia,” pintanya.
Memaparkan materinya berjudul ‘Menghargai Budaya Multikultural Melalui Perangkat Teknologi (Digital Culture)’, Yunus Anis menjelaskan Indonesia mampu bersatu berkat adanya keragaman budaya yang terjalin dalam semangat BhinnekaTunggal Ika. Sinergi budaya yang difasilitasi konektivitas digital mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan.
”Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas banyak struktur kebudayaan. Setiap suku bangsa mempunyai struktur budaya sendiri yang berbeda dengan budaya suku bangsa lain,” ungkap Yunus.
Bagi Yunus, strategi penguatan warisan budaya di era digital dengan cara memperkuat pemahaman literasi digital, mengimplementasikan semangat ketahanan budaya Indonesia di tengah dengan cara mencintai produk-produk Indonesia, memperkuat nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika di ruang digital untuk memperteguh ketahanan budaya. ”Ini semua perlu dukungan agar tercipta ruang digital yang sehat, kritis, aman, gotong royong, inovatif dan Pancasilais,” tegasnya
Sepakat dengan Yunus Anis, Ketua Umum Asosiasi Digital Kreatif, Saga Iqranegara menyatakan, perangkat teknologi mampu dikelola sebagai salah satu cara untuk menghargai budaya multikultural. Founder dan CEO of Sertiva itu menjelaskan di Indonesia terdapat lebih dari 1.340 suku bangsa. Jangan sampai terjadi diskriminasi sikap yang secara sengaja membedakan golongan-golongan hanya untuk kepentingan tertentu. ”Inilah pentingnya menghargai kemajemukan Indonesia,” tegasnya.
Menurut anggota Kadin DIY itu, banyak terjadi cyber bullying atau perundungan di dunia maya menggunakan teknologi digital di beragam platform media sosial. Namun perlu diingat, setiap orang harus menyadari jejak digital yang sulit terhapus.
”Tapak data yang tertinggal setelah beraktivitas di internet, email yang dikirim, lama website yang dibuka, hingga posting sesuatu di media sosial adalah sedikit contoh dari jejak digital,” sebut Saga.
Dipandu moderator Dannys Citra, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Sri Astuty (dosen Universitas Lambung Mangkurat), Ahmad Khoirul Anwar (dosen DKV Universitas Sahid Surakarta), dan Chintia Kharani selaku key opinion leader. (*)