WONOGIRI – Sebanyak lebih dari 1000 peserta antusias mengikuti webinar literasi digital bertema “Tips Mengenali dan Verifikasi Berita Palsu” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Senin (27/9/2021).
Webinar yang dimoderatori Nadia Intan dan Nindy Gita sebagai key opnion leader itu menghadirkan empat pembicara : Founder ISTAR Digital Marketing Center Isharsono, editor Tribunnews Daryono, Programer dan Konsultan Teknologi Informasi Eka Y. Saputra, dan Tim Pengembang Konten Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Wonogiri Sugiyarti.
Dalam paparannya, editor Tribunnews Daryono menyebut sejumlah berita hoaks yang sempat menggerkan publik belakangan terakhir. Salah satunya sebuah gambar media sosial Instagram soal ucapan duka cita dari PMI Provinsi DKI Jakarta atas meninggalnya Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri. Padahal, PMI DKI tidak pernah membuat atau memposting flyer tersebut namun dicatut namanya.
“Untuk mendeteksi hoaks yang masif seperti ini, dibutuhkan niat baik saja tidak cukup, namun juga butuh sikap skeptis dan tidak mudah menyebarkan informasi yang diterima. Cek informasi terlebih dulu jika informasi itu janggal, penuh hiperbola atau drama,” kata Daryono.
Merujuk Mafindo.or.id, lanjut Daryono, ada beragam jenis-jenis hoaks. Antara lain konten palsu 100 persen, lalu konten yang dimanipulasi atau konten yang sudah ada diubah untuk mengecoh, dan ada pula konten penipuan yang mencatut tokoh publik. Selain itu ada pula konten menyesatkan atau konten yang dipelintir untuk menjelekkan pihak tertentu. Ada pula jenis informasi yang salah konteks, tidak ada relasi antara foto dan judul serta tidak sesuai dengan isi atau konten tulisan, maupun konten satire atau parodi yang tidak ada niat jahat tapi bisa mengecoh.
“Ada sedikitnya tiga cara untuk cek informasi,” kata dia. Pertama cek sumber resmi di media sosial resmi, website resmi, kontak resmi semisal email atau telepon. Kedua cek informasi di berita media mainstream.
“Saat ini ada 21 media online yang berkolaborasi melakukan cek fakta,” kata dia. Yang ketiga, cek informasi di platform pemeriksa fakta.
Daryono mengakui untuk melawan hoaks tak mudah. Di antara penyebabnya karena literasi dan etika berinternet yang masih rendah, di situ ada nilai ekonomis, ada ketidakpastian informasi akibat pernyataan atau pemberitaan yang tidak lengkap, serta lambatnya verifikasi.
“Melawan hoaks tak mudah karena sebagian media sosial juga tak terjangkau karena bersifat tertutup contohnya WhatsApp,” pungkas Daryono.
Berikutnya, Programer dan Konsultan Teknologi Informasi Eka Y. Saputra berpendapat, menghindari hoaks sebagai pelaku maupun korban butuh proses penyadaran diri sendiri. “Pengguna mesti belajar menahan diri untuk tidak selalu berpendapat, tahan nafsu berkomentar atau berpendapat secara buru-buru tanpa ditimbang dengan matang,” kata Eka.
Menurut Eka, pengguna digital perlu mencegah pendapat yang terlalu buru-buru. Karena kesabaran itu pikiran justru akan lebih tenang dan bisa lebih santai di ruang digital tanpa resiko. (*)