KLATEN –Lektor Fisip Universitas Padjajaran Ahmad Buchari mewanti-wanti di era digital ini agar tak asal mengutip sumber informasi yang ujungnya malah menjadi tindakan plagiasi. Apalagi jika tindakan itu dilakukan kalangan akademisi tentunya akan beresiko menghancurkan citra akademis yang telah dirintisnya sendiri dalam waktu lama meski kadang ada kasus plagiarisme yang disengaja dan tidak disengaja.
“Jenis plagiasi secara umum diketahui menyalin ulang, mengutip tanpa disertai sumber, atau memodifikasi tulisan gambar tanpa izin pembuat,” kata Buchari saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Posting Konten ? Hargai Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Klaten Jawa Tengah, Selasa (28/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Buchari menuturkan untuk menghindari plagiasi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. “Yang pertama tolong untuk membiasakan saat mengutip dari buku, tulisan, atau karya tulis ilmiah disertai sumber,” kata Buchari.
Buchari menuturkan, pengguna bisa pula membiasakan izin terlebih dahulu pada si pemilik karya bahwa karyanya akan dikutip atau digunakan. Misalnya jika ingin mempublikasi ulang.
“Bagi kalangan akademisi dapat juga menggunakan aplikasi pengecekan plagiarism yang disediakan berbagai platform,” tegasnya.
Narasumber lain webinar itu, founder dan CEO Jogjania.com Jota Eko Hapsoro menuturkan penyebab maraknya pelanggaran HAKI salah satunya karena faktor ekonomi yakni karya itu digunakan untuk tujuan komersial tanpa izin.
“Tapi bisa juga maraknya pelanggaran itu karena murni ketidaktahuan atau kurangnya literasi mengenai HAKI di masyarakat,” ujar Jota.
Selain itu, tak bisa dimungkiri sumber resmi berupa file atau aplikasi original harganya masih relatif mahal. Di dunia maya karya yang sering dicuri dan digunakan secara ilegal biasanya untuk membuat konten foto dan gambar grafik, tulisan atau artikel, video, musik lagu hingga software. “Terlebih saat ini semua bisa menjadi content creator dengan naik pamornya industri digital kreatif,” kata dia.
Jota menuturkan tiap content creator perlu memahami bahwa hak cipta menjadi hak eksklusif dari pencipta yang timbul secara otomatis setelah karya diwujudkan dalam bentuk nyata dan dipublikasikan.
“Publikasi bisa dilakukan dengan upload karya itu di media sosial atau platform online lainnya, bisa pula melalui pameran atau pertunjukan maupun publikasi di majalah, jurnal, atau media sejenis serta dicatatkan di Direktorat Jenderal kekayaan intelektual,” pungkasnya.
Webinar ini juga menghadirkan narasumber dosen Universitas Sebelas Maret Surakarta Muhammad Yunus Anis, dosen UIN Surakarta Abdul Halim serta dimoderatori Amel Sannie juga Bella Ashari selaku key opinion leader. (*)