Tegal –Kementerian Kominfo menyebutkan ada sekitar 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar informasi palsu atau hoaks. Sejak 2018, kementerian ini juga telah menangani konten mengenai ujaran Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) sebanyak 3.640 konten, kemudian dilakukan pemutusan akses atau taked down.
Ini berarti internet telah salah dimanfaatkan oknum tertentu untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya dengan cara menyebarkan konten-konten negatif yang menimbulkan keresahan dan saling mencurigai di masyarakat.
Sebenarnya, untuk membantu mengidentifikasi suatu kabar itu hoaks atau bukan, cukup menggunakan empat langkah sederhana. Cara itulah yang disampaikan Dosen IBN Tegal, Syamsul Falah, saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (15/7/2021).
Apa saja? “Waspada dengan judul provokatif, cermati alamat situs dengan detail, periksa fakta dan cek keaslian foto, dan yang terakhir adalah masuk menjadi personal yang cerdas menyaring hoaks dan menjadi bagian masyarakat anti-hoax,” jelasnya.
Menurut dia, internet memang menjadi jawaban bagi kebutuhan masyarakat, tetapi sisi lain membuka ruang lebar bagi kehadiran informasi atau berita-berita bohong tentang suatu peristiwa yang meresahkan publik.
“Bebas itu bukan tanpa batas. Kebebasan berekspresi di ruang digital memiliki batas-batas yang sama dengan hak-hak digital, yaitu tidak boleh melanggar hak dan melukai orang lain, juga tak boleh membahayakan kepentingan publik, negara dan masyarakat,” ungkapnya.
Narasumber lain dalam webinar bertema ”Ujaran Kebencian dan Hoax: Konten dan Norma yang Berlaku” kali ini adalah Pemimpin Redaksi Media Online Swarakampus.com, Krisno Wibowo. Jurnalis senior ini menyatakan ujaran kebencian dan hoaks sama-sama merugikan masyarakat.
Hoaks dipercaya karena dikirimkan oleh banyak orang, berdasar siapa yang menyebarkan, berapa banyak likes, komentar, share. “Kebohongan yang terus diulang-ulang membentuk keyakinan seolah-olah menjadi kebenaran,” ucapnya.
Sedangkan ujaran kebencian biasanya disebar oleh tokoh yang dianggap panutan, setiap ucapannya adalah kebenaran, lantas didistribusikan oleh pengikutnya.
Krisno sepakat bermedia sosial perlu daya kritis, konfirmasi fakta, obyektivitas berita, keberimbangan, akses ke media mainstream yang kredibel sebagai komparasi. Sedangkan pencegahan bisa melalui literasi keluarga, sekolah dan komunitas.
Dipandu moderator Fernand Tampubolon, webinar juga menghadirkan narasumber Rahmat Afian Pranowo (Fasilitator Nasional), Amni Zarkasyi Rahman (Dosen/Pengajar Undip) dan Ayu Rachmah (Automotive Enthusiast/Influencer) selaku key opinion leader. (*)