SEMARANG – Dunia digital mensyaratkan partisipasi dari banyak manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Tentunya, masing-masing memiliki peran dan kerentanannya tersendiri di dalam dunia digital. Isu privasi dan keamanan diri selalu menjadi perhatian serius.
Pada sesi webinar Gerakan Nasional Literasi Digital yang bertajuk ‘Peran Perempuan Dalam Pendidikan Anak Di Era Transformasi Digital’ yang diadakan Kementerian Kominfo untuk masyarakat kota Semarang, pada Senin (09/08), Ninik Jumoenati memaparkan kerentanan-kerentanan yang dialami perempuan dan anak di era digital yang berkembang pesat.
“Teknologi digital yang mudah diakses oleh siapa saja, termasuk perempuan dan anak, adalah bagai pisau bermata dua. Ia bisa jadi berguna, atau malah menyakiti,” ungkap Ninik Jumoenati, yang merupakan Redaktur Langgar.co domisili Pati.
Menurut Ninik Jumoenati, keluarga adalah kunci utama untuk mencegah hal-hal buruk terjadi di dunia digital. Pengawasan orang tua diperlukan jika sudah berbicara soal anak-anak. “Idealnya, mereka (anak-anak) harus selalu dalam pengawasan orang tua,” ungkapnya.
Lebih lanjut, jika anak-anak dibiarkan tanpa pengawasan, akan ada risiko-risiko yang harus dihadapi oleh orang tua. Yaitu kecanduan, pornografi, cyberbullying, penipuan, kekerasan seksual, trafficking, prostitusi, dan pencurian data. “Oleh karena itu, pengawasan mutlak diperlukan,” jelasnya.
Ninik Jumoenati juga mengatakan bahwa korban sulit mendapat keadilan. Hal ini terjadi sebab lemahnya sistem penegakan hukum yang ada. Mulai dari substansi dan struktur hukum yang masih terbatas, hingga kejahatan digital yang masih baru bagi masyarakat adalah penghambatnya.
“Kehati-hatian adalah kunci untuk aman di dunia digital,” ungkapnya.
Selain itu, Ninik Jumoenati juga mengatakan bahwa anak-anak dan perempuan merupakan sasaran objek eksploitasi. “Stigma terhadap bentuk tubuh dan kecantikan yang terus-menerus disiarkan dan direproduksi di dunia digital adalah penyebab anak-anak dan perempuan jadi sasaran,” ungkapnya.
“Dampak atas ekspolitasi itu bisa menjadi kehilangan kepercayaan diri dan kesehatan mental yang terganggu,” jelasnya lebih lanjut.
Hal-hal penting, menurut Ninik Jumoenati, yang perlu dilakukan yaitu terus menambah pengetahuan melalui membaca dan berlatih, memahami logika dan tabayyun, jangan terperdaya bujuk rayu di dunia digital. “Dengan begitu, kita bisa memiliki etika digital yang baik,” jelasnya.
Sani Widowati, narasumber lain dalam seminar, memaparkan lebih lanjut tentang peran perempuan dalam pendidikan anak di era digital yang berkembang pesat. “Jika anda berhasil mendidik seorang perempuan, anda telah mendidik seluruh anggota keluarga,” ujarnya.
Sani Widowati, yang merupakan Princeton Bridge Year On-site Director Indonesia, juga mengatakan stereotip tentang perempuan yang gaptek atau gagap teknologi harus dihilangkan. Selain itu, pengenalan dunia digital kepada anak harus dilakukan. Dimulai dari perangkat keras yang dipakai, aplikasi yang aman, dan konten yang sesuai. “Pengenalan juga harus menguatkan pondasi nilai-nilai universal dan kepercayaan diri anak,” jelasnya.
“Melakukan pengenalan melalui dunia digital melalui permainan juga akan menjadi menyenangkan,” lanjutnya.
Dalam presentasinya itu juga, Sani Widowati memberikan rekomendasi aplikasi dalam melakukan pengawasan terhadap internet anak. Aplikasi-aplikasi itu adalah Google Family Link, Safe dari Telkomsel, dan Qustodio.
Dipandu oleh moderator Dannys Citra (Entertainer), webinar ini juga turut menghadirkan key note opinion leader Putri Juniawan (TV Presenter), Yoshe Angela (Social Media Specialist PT Cipta Manusia Indonesia), dan Krisseptiana Hendrar Prihadi (Ketua Tim Penggerak PKK Kota Semarang). (*)