TEGAL – Pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir dua tahun telah membuat sejumlah masyarakat beraktivitas menggunakan media digital. Hal ini menyebabkan kekhawatiran tersendiri bagi sejumlah pihak terutama bagi orang tua terhadap anak mereka. Utamanya munculnya ujaran kebencian yang menyasar kalangan sesama penguna dunia digital.Topik inilah yang menjadi pembahasan acara webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo RI untuk warga Kabupaten Tegal pada 12 Agustus 2021.
Tommy Destryanto, Praktisi IT, menjelaskan bahwa ujaran kebencian akhir-akhir ini menjadi tatangan besar di tengah-tengah negara Demokrasi. Pasalnya negara Demokrasi yang memberikan kebebasan berekspresi dan berpendapat menurutnya sering disalampahami, sehingga banyak orang menilai ujaran berpendapat meski negatif menjadi bagian kebebasan tersebut.
“Sehingga banyak orang yang dengan tidak mengeluarkan hate speech. Baik berupa penghinaan, menghasut, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, pencemaran nama baik, hingga hoaks,” Ujarnya.
Data ini diperkuat dengan banyaknya pelaporan dari sejumlah kategori yang ada dari Oktober 2015-Juli 2021 sebanyak 6990 kasus. Dengan rincian 3.392 kasus penghinaan/pencemaran, 616 kasus hoaks/fake news, 417 kasus provokasi/penghasutan, 207 kasus penistaan agama yang ditemukan terbanyak lewat platform WhatsApp.
“Jadi Netizen harus tetap PPKM. PINTAR dalam memilih informasi yang dibagikan, baik data pribadi ataupun post. PEDULI terhadap sesama netizen lain karena dibalik akun itu ada manusia yang punya rasa dan hati. KUAT dalam menggunakan password dan fitur keamanan agar tidak mudah jadi korban serangan siber. MANFAAT kontennya demi ruang digital yang lebih baik.” ujarnya.
Sedangkan Suwoko Pemimpin Redaksi Betanews.id dalam menghindari ujaran kebencian tersebut para pengguna media digital harus serta merta membekali diri dengan etika bermedia atau yang sering disebut netiket. Namun dalam perkembangan komunikasi digital yang memiliki karakteristik komunikasi global yang melintasi batas-batas geografis dan batas-batas budaya itu akan memiliki nilai dan norma dapat sangat baur. Pasalnya setiap batas geografis dan budaya juga memiliki batasan etika yang berbeda. Seperti negara, bahkan daerah memiliki etika sendiri, begitu pula setiap generasi memiliki etika sendiri. Sehingga sangat mungkin pertemuan secara global tersebut akan menciptakan standar baru.
“Sehingga yang diperlukan dalam interaksi di dunia maya paling mendasar dari netiket adalah dengan selalu menyadari interaksi yang di lakukan dengan manusia nyata di jaringan yang lain, bukan sekedar dengan deretan karakter huruf di layar monitor, namun dengan karakter manusia,” ujarnya.
Ia juga menambahkan literasi digital sering dianggap sebagai kecakapan menggunakan internet dan media digital. Meski begitu baginya, acapkali ada pandangan bahwa kecakapan penguasaan teknologi adalah kecakapan yang paling utama. Padahal Literasi digital, lanjutnya, sebagai sebuah konsep dan praktik yang bukan sekadar menitikberatkan pada kecakapan untuk menguasai teknologi saja.
“Seorang pengguna yang memiliki kecakapan literasi digital yang bagus tidak hanya mampu mengoperasikan alat, melainkan juga mampu bermedia digital dengan penuh tanggung jawab,” tambahnya.
Sedangkan Syamsul Falah, salah satu Dosen IBN Tegal mengatakan bahwa melawan ujaran kebencian yang ada di media sosial dengan kembali dengan budaya yang sedang dipegang pengguna. Yakni dengan menerapkan kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan di dunia digital dengan nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.
“Dalam konteks keIndonesiaan, sebagai warga negara digital, Setiap individu memiliki tanggung jawab (meliputi hak dan kewajiban) untuk melakukan seluruh aktivitas bermedia digitalnya berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan, yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini karena Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan panduan kehidupan berbangsa, bernegara dan berbudaya di Indonesia,”
Sehingga dalam kesimpulan yang diajukan oleh Syamsul Falah untuk menjadi pengguna digital yang sempurna seharusnya mengedepankan norma yang ada. Baginya norma inilah yang dianggap sebagai unsur fundamental dan memiliki pengaruh kuat dalam menentukan tingkah laku seseorang yang juga harus menjadi pegangan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Terutama dengan empat norma yang harus ditekankan pada diri pengguna media maya, yakni: norma agama, norma kesusilaan, norma hukum dan norma kesopanan.
Acara dengan moderator Bunga Cinka (TV Journalist) dan dihadiri narasumber Rizqika Alya Anwar (Head of Operation PTPT Cipta Manusia Indonesia), dengan key opinion leader Damara De. (*)