MAGELANG – Staf pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Sriwijaya Palembang Nurly Meilinda menyebut ada sejumlah dampak rendahnya literasi digital dalam masyarakat jika terus dibiarkan tanpa perhatian dan penanganan.
“Rendahnya literasi itu membuat pengguna digital tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi dengan perundungan siber, ujaran kebencian, pencemaran nama baik atau provokasi yang mengarah pada segregasi sosial,” ujar Nurly saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Komunikasi Publik yang Cerdas dan Santun di era Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (29/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Nurly pun menuturkan rendahnya literasi digital berpotensi memicu perpecahan atau polarisasi di ruang digital. Karena pengguna digital tidak akan mampu membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi.
“Rendahnya literasi juga membuat orang tak bisa membedakan informasi benar dengan misinformasi, disinformasi dan malinformasi,” tegasnya.
Nurly mengungkap ada sejumlah langkah sederhana demi menghindari disinformasi atau malinformasi. Yang utama langsung melakukan verifikasi informasi pada sumber yang valid. Verifikasi informasi ini menjadi bagian penting kecakapan digital.
“Pahami maksud informasi dengan melakukan seleksi dan identitas dari informasi yang kita terima, jangan asal menyebarkan pesan tanpa memastikan kebenarannya terlebih dahulu,” kata Nurly.
Merujuk survei, pengguna digital usia 36 – 39 tahun cenderung senang menyebarkan berita atau informasi dari satu grup WhatsApp ke WhatsApp lainnya.
“Kita pun perlu memahami etika berinternet dengan menguasai kompetensi digital ethics,” kata dia. Diantaranya etika berinternet, yakni memiliki pengetahuan mengenai informasi yang mengandung hoaks, ujaran kebencian, pornografi, perlindungan data diri dan konten negatif lainnya.
Menurut Nurly pengetahuan dasar berinteraksi adalah partisipasi dan kolaborasi di ruang digital yang sesuai kaidah etika digital dan peraturan yang berlaku. “Maka ketika berinteraksi di media sosial gunakan bahasa yang baik dan sopan, tidak mengandung SARA dan pornografi, serta bijaksana dalam memberikan tanda like dan berkomentar bijaksana,” terangnya.
Nurly menambahkan dalam meneruskan informasi diharapkan pengguna diimbau tidak meneruskan informasi yang telah dipotong atau diedit sebelumnya. “Hindari membagikan screenshot percakapan yang dapat merugikan orang lain,” kata dia.
Menurutnya bermacam fasilitas internet memungkinkan seseorang untuk bertindak etis dan tidak etis. Padahal patut dipahami, pengguna internet berasal dari berbagai macam negara yang memiliki perbedaan bahasa budaya dan adat istiadat. “Pahami internet memiliki jejak digital yang tidak mudah dihapus jadi pertimbangan perilaku dalam berinteraksi di ruang digital.
Narasumber lain webinar itu programer dan konsultan teknologi informasi Eka Y. Saputra memiliki sejumlah tips agar pengguna tetap aman nyaman dalam berinteraksi dan berkomunikasi di ruang digital. Khususnya jika komunikasi itu sudah berubah ke arah perdebatan kusir, perundungan, dan tak ilmiah seperti menyerang personal, bukan perang ide atau gagasan.
“Untuk menghindari pertikaian atau perundungan di dunia digital tutup komentar atau bisukan atau blokir akun yang melakukannya,” kata dia.
Eka menilai aksi blokir jangan dipahami sebagai pertanda kalah, salah atau pengecut. “Pahami itu sebagai hak setiap warganet untuk menjaga kesehatan mental dan mencegah konflik lebih besar,” kata dia.
Maka sebaiknya hentikan segera diskusi yang memanas dan saling serang personal. “Lebih baik mencegah daripada terus terjadi konflik berupa serangan karakter, hinaan SARA, pelecehan, serangan pribadi dan institusi,” tegasnya.
Webinar ini juga menghadirkan narasumber dosen Universitas Tidar Magelang Novitasari, dosen Universitas Muhammadiyah Magelang Yun Arifatul Fatimah, serta dimoderatori Mafin Rizki juga Brigita Ferlina selaku key opinion leader. (*)