BREBES – Pandemi Covid-19 menuntut sebagian besar masyarakat untuk bekerja, bersekolah ataupun kegiatan lain serba terbatas dan beralih ke dunia digital. Hal ini dilakukan untuk membatasi penyebaran virus yang semakin meluas. Akibatnya beberapa aktivitas dalam skala besar berpindah ke ruang digital dan sekaligus menjadikan dunia tersebut sebagai ruang publik.
“Ruang publik berarti adanya komunikasi multibidang, semua orang dapat mengaksesnya, bersifat terbuka dan inklusif serta membentuk opini secara kolektif. Kesemuanya kriteria dapat ditemukan di media digital saat ini,” ungkap Danang Margono, M.Pd. fasilitator Nasional SRA dalam acara webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk warga Kabupaten Brebes, pada 12 Agustus 2021.
Sedangkan sebagai ruang publik bagi dating, media digital yang diwakili media sosial akan mempertemukan sejumlah opini maupun isi kepala orang lain. Sehingga adanya diskusi antara pengguna melalui kolom komentar yang telah disediakan tidak dapat dihindarkan. Namun disisi lain, diskusi tak perlu berlanjut dan dapat dihindarkan tatkala sejumlah permasalahan muncul seperti ujaran kebencian antara sesama penggunanya.
Danang sendiri mewanti-wanti dalam materinya cara memproteksi diri yang harusnya dilakukan para pengguna dengan tidak mengunggah yang bersifat pribadi. Salah satunya ia menyebutkan dengan melakukan curhat di media sosial tentang permasalahan yang mereka hadapi. Menurutnya hal ini tidak akan menyelesaikan masalah, justru malah akan sebaliknya.
“Dapat kehilangan privasi, dapat menambah beban pikiran dan akhirnya stress, juga dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, ” Ujarnya.
Sedangkan Muhammad Yunus Anis, Praktisi Pendidikan mengatakan untuk melakukan diskusi di ruang publik digital, pengguna harus senantiasa menerapkan digital culture. Utamanya bagi masyarakat Indonesia, menurutnya harus senantiasa menerapkan budaya berbasis Bhinneka Tunggal Ika dalam mengaplikasikan bermedia.
“Selain itu pengguna juga harus berpikir kritis, meminimalisir unfollow, unfriend dan block untuk menghindari echo chamber dan filter bubble, dan gotong royong kolaborasi kampanye literasi digital. Dasar utamanya adalah pertanyaan apakah konten kita benar (objektif, sesuai fakta), penting, dibutuhkan (inspiratif) dan memiliki niatan baik untuk orang lain (tidak memihak, tidak merugikan),” ujarnya.
Sedangkan Joko Priyono, penulis lepas dan pegiat literasi digital menambahkan sebagai ruang publik media digital juga memberikan dampak positif jika dimanfaatkan dengan benar. Menurutnya ada peluang yang ditawarkan media digital sebagai ruang publik lebih luas dibanding ruang publik yang konvensional. Hal ini didukung ketidakterbatasan yang ditawarkan oleh media masa sangat luas.
“Dunia digital harusnya kita jadikan sebagai sarana untuk terus melatih akal budi, berpikir kritis, bersikap skeptis, dan bertindak masuk akal dalam hari demi hari yang kita jalani di kehidupan ini. Kesadaran dari individu yang pertama perlu dilakukan sebelum kemudian menjadi kesadaran kolektif dalam menjadi warga digital,” ujarnya.
Dipandu moderator Bobby Aulia (Entertainer), webinar kali ini juga dihadiri narasumber Yoshe Angela (Social Media Specialist PT Cipta Manusia Indonesia), Saffana Hamidah (Conten Creator) sebagai key opinion leader. (*)