JAKARTA – Saat Munas Alim Ulama ke-3 pada 14 Juni 2015, Ketua PBNU Said Aqiel menceritakan masa lalu bagaimana para santri pada masa zaman kolonial membantu pejuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
”Siapa yang menaruh bom di mobil Brigjen Mallaby? Dia adalah Harun, santri Pondok Tebuireng (Jombang, Jawa Timur),” kata KH Said Aqiel Siraj Ketua PBNU dalam Munas Alim Ulama Ke-3, pada 14 Juni 2015.
Kejadian heroik yang melekat di ingatan bangsa ini berlangsung di dekat Jembatan Merah, Surabaya, Jawa Timur pada 30 Oktober 1945. Saat hendak melintasi jembatan itu, mobil Buick milik Mallaby dicegat sekelompok pemuda.
Selanjutnya, seorang pemuda (santri) melepaskan tembakan kepada Mallaby hingga meninggal. Tak hanya itu, mobil Buick miliknya pun kemudian dibom hingga hancur. N
akibat ledakan tersebut, mayat Mallaby sulit diidentifikasi. Indonesia kini berusia 74 tahun setelah memerdekakan dari penjajah selama ratusan tahun. Banyak elemen masyarakat yang tergabung dalam perebutan kemerdekaan negara Indonesia.
Tidak hanya kaum nasionalis, kaum santri juga turut berupaya merebut kemerdekaan Indonesia. Terbukti, pada 22 Oktober 1945, sejumlah tokoh NU berkumpul di Surabaya guna merumuskan Resolusi Jihad.
Resolusi itu menyatakan perjuangan untuk merdeka adalah perang suci (jihad). Artinya, berjuang melawan sekutu adalah wajib, atau fardhu ‘ain bagi setiap umat Islam.
“Berita tentang resolusi itu menyebar cepat dan menjadi kekuatan bagi perlawanan umat Islam,” sebut Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967.
Sejarah Pembentukan Hari Santri Nasional
Hari Santri Nasional (HSN) jatuh pada 22 Oktober, sesuai ketetapan Presiden Joko Widodo pada tanggal yang sama 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta.
Penetapan tersebut bertujuan meneladani semangat jihad yang didengungkan kepada para santri untuk senantiasa menjaga keutuhan NKRI, sesuai dengan amanat dan semangat yang digelorakan oleh para ulama.
Tanggal 22 Oktober dipilih karena bertepatan dengan peristiwa pembacaan resolusi jihad yang didengungkan oleh Pahlawan Nasional KH Hasjim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Selain itu, ada aspek lain yang melatarbelakangi penetapan HSN ini, yaitu pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia atas peran besar umat Islam dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga NKRI.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo berjanji akan menetapkan 1 Muaharram sebagai hari Santri. Namun, ketetapan tersebut ditolak oleh Ketua PBNU, KH Said Aqiel Siraj.
“Tolong sampaikan ke Presiden, tidak tepat 1 Muharam. Yang khas itu tanggal 22 Oktober di mana para santri dengan semangat jihad menyambut pasukan NICA di Surabaya, dan mempertahankan kemerdekaan,” sebut Said Aqil.
Jokowi yang saat itu hadir bersama Said Aqiel dalam acara Munas Alim Ulama Ke-3 di Jakarta, pada 14 Juni 2015, mendengar usulan Said. Selanjutnya memerintahkan Menteri Agama segera merumuskan Hari Santri.
Menanggapi arahan Presiden, Menag Lukman Hakim Saifuddin menggelar forum diskusi terbatas pada 15 Agustus 2015. Dari diskusi ini, keluarlah Keppres Nomor 22 Tahun 2015, yang mengakui 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Meski banyak pro dan kontra mengenai Keppres ini, namun ada satu hal yang tidak bisa diabaikan, santri adalah kelompok masyarakat yang selalu getol menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia, demikian mengutip dari berbagai sumber.
(Oleh Erik Erfinanto pada 22 Okt 2019)