BEBERAPA waktu terakhir ini isu kesehatan mental tengah naik sebagai topik yang banyak didiskusikan. Banyak juga yang semakin terbuka mengungkapkan perasaannya, salah satunya kekhawatiran-kekhawatiran dalam menjalani kehidupan sehingga muncul berbagai emosi negatif seperti marah, cemas, frustasi, dan sebagainya. Emosi-emosi tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan cara lebih memahami diri dan mencintai nasib.
Henry Manampiring melalui bukunya berjudul Filosofi Teras menjelaskan bagaimana cara mencintai nasib dengan pemahaman stoisisme atau filosofi stoa.
Salah satu ajakan dari stoisisme adalah ajaran mencintai nasib, atau dalam bahasa Latin disebut Amor Fati (Love of fate). Dari ajaran ini manusia diajak untuk kembali pada konsep selaras dengan alam. Maksudnya hal-hal yang terjadi pada hidup kita itu selalu dan saling terkait dengan peristiwa hidup orang lain dan semua hal yang ada di dunia.
Misalnya, ketika mengalami suatu kegagalan. Sangat wajar bagi kita untuk merasakan berbagai emosi seperti rasa marah, frustasi, putus asa, dan berbagai perasaan lainnya. Menyalahkan keadaan karena sesuatu terjadi diluar kendali kita, padahal kita sudah berusaha maksimal, dalam ajaran filosofi stoa itu dianggap sebagai pola pikir yang keliru.
Dalam filosofi stoa ada dikotomi dalam kendali nasib manusia. Yaitu hal-hal yang ada dibawah kendali kita atau tergantung pada diri kita, dan hal-hal diluar kendali. Hal yang ada dibawah kendali kita itu seperti pikiran, tindakan, opini, dan perkataan. Sedangkan hal diluar kendali kita itu seperti cuaca, kondisi ekonomi, karir, reputasi, hingga kesehatan
Jadi sebuah kegagalan yang kita alami itu sebenarnya adalah netral, ia berada diluar kendali kita. Ketika kita mulai menyalahkan hal-hal diluar kendali kita, dan ingin meraih sesuatu diluar kendali artinya kebahagiaan yang ingin kita raih itu justru hal-hal diluar yang bisa kita lakukan, sedangkan kebahagiaan itu hendaknya didapatkan dari dalam diri kita.
Oleh sebab itu ketika kita gagal kemudian merasa marah, coba tanyakan kepada diri sendiri. Kenapa harus marah, apakah kemarahan itu rasional, apakah dengan marah akan merubah keadaan. Sebab kembali lagi pada konsep selaras dengan alam, jika sesuatu itu sudah terjadi sesuai jalannya kenapa harus disesali toh, itu diluar kendali kita.
Berdialog dengan diri sendiri dapat menutup emosi yang kita rasakan dan menemukan akarnya, sehingga kita bisa kembali pada diri kita, bisa legowo, lalu kembali produktif.(*)
Sumber: Youtube Greatmind