Infojateng.id – Dalam memandang kehidupan ini, media sosial dan berbagai kemudahan akses sangat mempengaruhi cara kita untuk memenuhi keinginan juga mengikuti tren terkini. Tapi, sadarkah kita hal-hal tersebut sebenarnya menggiring masyarakat pada konsumerisme?
Mari kita coba breakdown. Teknologi yang semakin canggih, memudahkan pengguna melihat dunia secara lebih luas dan tanpa batas. Alhasil, mata dan otak kita dengan gampangnya bisa mengetahui semua hal yang sedang tren saat itu. Ditambah eksistensi para influencer, bagian bawah sadar kita bisa teraktivasi secara spontan ketika merasa “sesuatu” yang disponsorkan ternyata sedang dibutuhkan juga bisa timbul keinginan untuk memilikinya meskipun tidak merasa butuh.
Misal, unggahan makanan di media sosial. Ketika disampaikan ulasan singkat beserta fotonya sudah bisa membuat kita membayang-bayangkan seperti apa rasanya hingga berkeinginan untuk mencoba suatu saat. Atau ketika melihat gaya berbusana seseorang di medsos, karena tertarik kemudian berakhir menanyakan dimana toko yang menjualnya atau merk dan kata kuncinya. Secara tidak sadar kita akan didorong untuk melakukan hal serupa.
Pola-pola tersebut tidak salah, wajar bahkan. Media sosial menjadi alat pemasaran, influencer untuk menarik perhatian masyarakat, dan diskon untuk membuat terpikat. Yang bermasalah adalah diri kita sendiri, apakah punya kendali yang kuat untuk tidak mudah terbuai? Atau kita yang tidak bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan.
Penulis buku The Power of Kepepet Jaya Setiabudi, memandang konsumerisme sebagai suatu hal yang bisa menyebabkan penyakit. Dari sisi konsumsi makanan, ia berprinsip untuk makan secukupnya. Prinsip ini ia pegang karena didikan orangtuanya yang cukup ketat. Saat masih SD, ia pernah meminta tambah nasi goreng kepada penjual tapi berujung tidak habis. Oleh ayahnya, ia disuapi dengan paksa karena sebelum tambah seporsi porsi nasi goreng, ayahnya sudah memastikan jika ia mampu menghabiskan makanan tersebut.
Pengalaman founder Yuk Bisnis ini mengajarkan bahwa kita tak boleh serakah dengan makanan, apalagi sampai menyisakannya. Secara literal, makanan yang tidak habis jika dikumpulkan bisa untuk untuk mengisi perut orang yang membutuhkan. Jadi, alangkah baiknya ketika punya makanan dalam jumlah yang lebih untuk dibagikan dengan orang sekitar.
Sebab, sampah-sampah sisa makanan yang tidak tertangani dengan baik itu akan menghasilkan efek buruk pada lingkungan di bumi tempat tinggal manusia.
Kemudian soal pakaian. Meskipun Jaya Setiabudi mengaku sebagai orang paling boros di keluarganya tapi ia berprinsip ketika ia membeli satu pakaian maka harus ada satu pakaian dari lemari yang harus dikeluarkan sebagai bentuk tebusan rasa berdosanya.
Membeli baju memang salah satu kebutuhan, tapi bukan hal yang primer sehingga masih bisa dilakukan kapan-kapan. Lalu perlu diperhatikan juga, apakah kita membeli baju itu karena diskon atau karena kebutuhan? Jawabannya hanya diri sendiri yang tahu. Sebab jika melihat lebih jauh, dibalik diskon besar dan harga murah ada para pekerja yang mungkin diupah tidak sepantasnya. Produksi garmen tinggi juga bisa berpengaruh pada lingkungan karena limbah dari bahan baku tekstil tidak pernah bisa ramah lingkungan.
Prinsip hidup Jaya Setiabudi mengajarkan pula bahwa kelak jika suatu saat hidup ini berubah di roda bagian bawah, tak perlu banyak adaptasi dan merubah pola hidup karena terbiasa hidup ala kadar. Pilihan ada di tangan individu masing-masing, berhemat untuk menyelamatkan manusia atau konsumsi berlebihan dan menanggung risiko besar.(*)
Sumber: Youtube Jaya Setiabudi