KASUS perundungan (bullying) kembali menghebohkan negeri ini. Kasus terakhir di Singaparna, Tasikmalaya menimpa seorang bocah 11 tahun hingga berakhir depresi dan meninggal dunia. Para pelaku berjumlah 3 orang juga masih dalam usia yang tidak jauh berbeda dengan korban. Mekanisme penanganan kasus tersebut menggunakan Sistem Peradilan Anak sesuai dengan UU nomor 11 tahun 2012.
Pelaku diketahui melanggar ketentuan Pasal 80 Juncto Pasal 76 C UU Nomor 35 tentang Perlindungan Anak, namun pelaku tidak ditahan. Hal ini pun dirasa begitu ironis karena terjadi pada momen Hari Anak Nasional, 23 Juli 2022.
Kasus bullying bukanlah sesuatu yang baru bahkan menjadi fenomena global di seluruh penjuru dunia. Kejadian ini banyak terjadi di lingkungan remaja dan pendidikan yang sebagian besar kasusnya justru tidak dilaporkan. Ibarat gunung es, yang terlihat hanyalah sebagian kecil dari fakta yang sesungguhnya. Pelaku dan korban pun bisa menimpa siapa saja, laki-laki atau perempuan, anak-anak hingga dewasa.
Bullying didefinisikan oleh Tim Sejiwa dalam artikelnya yang berjudul Bullying A-Z sebagai tindakan penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok orang baik secara verbal, fisik, psikologis, maupun cyberbullying yang menyebabkan korban trauma, tertekan, depresi, dan lain semisalnya baik dilakukan satu kali atau secara terus menerus.
Tindakan bullying dilihat dari perspektif korban apakah merasa terdampak atau tidak. Jika tidak merasa tersakiti maka tindakan tersebut tidak tergolong perilaku perundungan. Namun demikian, justru inilah yang menjadikan lingkungan harus lebih berhati-hati karena banyak korban yang menyembunyikan lukanya.
Tim Sejiwa juga menuturkan beberapa penyebab terjadinya bullying pada anak, diantaranya adalah cari perhatian/pengakuan, merasa lebih hebat, contoh dari lingkungan yang berbau kekerasan, tidak memahami cara berinteraksi dengan orang lain secara positif, masalah dalam lingkungan keluarga, hingga adanya “perbedaan” pada korban secara fisik dan lainnya. Penyebab tindakan perundungan bukanlah masalah sepele, penyebabnya pun berasal dari berbagai faktor baik secara sosial, ekonomi, psikologi, dan sebagainya. Masalah sistemik tentu membutuhkan solusi yang sistemik.
Bullying patut mendapatkan perhatian secara luas, dampak tindakan ini juga tergolong fatal karena merusak mental korban bahkan telah merenggut banyak nyawa. Tindakan perundungan verbal misalnya, sering diremehkan dengan alibi bercanda semata. Padahal luka hati dapat berdampak pada kerusakan mental korban, depresi, rendah diri, dan sebagainya. Bullying bukanlah sesuatu yang keren bahkan tergolong sangat berbahaya. Korban bullying di usia anak-anak dapat mengganggu pertumbuhan mentalnya, belajarnya, dan juga perilakunya. Kasus 2021 lalu yaitu pelajar di Bali yang berusia 18 tahun tega menusuk leher temannya lantaran kerap dibully, tentu menjadi pembelajaran kita bersama.
Maraknya kasus bullying harus diberikan tindak lanjut nyata yang dapat mensolusi hingga akar masalahnya. Bullying bukanlah tindakan biasa dan wajar di dunia remaja sebagaimana apa yang sempat dilontarkan oleh salah seorang tokoh di negeri ini. Segala bentuk bullying harus diberantas secara serius. Kasus cyberbullying juga telah memberikan efek serius bagi korban, bahkan membuat korban depresi dan memilih bunuh diri karena tidak kuat terhadap hujatan para netizen. Hal ini jelas membuktikan bagaimana rusaknya generasi saat ini. Sistem pendidikan yang diunggulkan ternyata tidak memberikan pemahaman yang baik pada peserta didik untuk bertingkah laku yang baik dan tidak menyakiti orang lain. Sistem pendidikan yang lebih fokus pada hasil dan nilai akhir di atas kertas ternyata kurang memberikan pendidikan moral dan spiritual yang sebenarnya dinilai akan mampu mencegah tindakan amoral para pelajar. Namun demikian, sistem pendidikan yang kuat juga tidak lepas dari sistem perekonomian yang kuat. Kapitalisasi pendidikan juga berdampak pada mahalnya pendidikan yang berkualitas, ditambah lagi dengan liberalisasi pergaulan yang berdampak pada carut marutnya pergaulan terutama pada dunia remaja saat ini.
Lingkungan yang rusak juga secara nyata berdampak serius pada maraknya kasus bullying. Pemuda sebagai agent of change, perintis perubahan secara positif, inovatif dan solutif terhadap berbagai persoalan negeri, justru terjebak pada kehidupan liberal sekuleris yang impulsif. Jelas ini adalah pembajakan potensi remaja dan para pemuda. Tanpa usaha nyata secara sistemik, kehancuran generasi dapat berdampak pada rusaknya negeri ini. (*)
Heny Widiastuti, SST, M.Sc.
Penulis adalah Staf BPS Kabupaten Temanggung