*oleh Dina Lusianti
Mahasiswi Program Studi Doktor Ilmu Manajemen Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Teori kognitif sosial digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis sifat dan fungsi agensi manusia sesuai dengan peran sentral untuk kognitif, refleksi diri, dan pengaturan diri. Disini masing-maisng manusia berperan sebagai agen yang interaktif. Setiap orang dapat membuat kontribusi kausal untuk motivasi mereka sendiri dan lingkungan. Dalam model sebab-akibat timbal balik ini maka tindakan, kognitif, afektif, dan faktor pribadi lainnya, dan lingkungan akan saling berinteraksi dan resiprokal.
Teori kognitif sosial sebagai lensa yang dominan untuk mengintegrasikan penelitian pertukaran sosial dengan penelitian kreativitas. Diperluas dengan pendekatan dua sisi koin pertukaran sosial, yaitu kualitas hubungan dan diferensiasi serta perspektif tambahan seperti teori keadilan. Teori kognitif sosial telah menekankan peran model moderasi dalam efikasi diri. Hal ini nampak pada pengaturan tim, setiap anggota saling berinteraksi, mempertahankan interaksi, memanfaatkan sumber daya organisasi yang serupa, dan bekerja sama pada tugas-tugas yang relevan. Individu dengan keyakinan efikasi diri yang lebih tinggi maka akan berdampak pada kecenderungan untuk menetapkan dan mematuhi tujuan yang menantang dari status quo menjadi ide-ide yang berguna. Selain itu juga dapat fokus ke tujuan yang akan dipilih, bertahan dalam tindakan bahkan dalam menghadapi kesulitan dan kegagalan. Karyawan yang menempatkan efikasi diri secara pro aktif, kecenderungannya karyawan tersebut orang yang solutif, kreatif, menikmati segala aktivitas, dan dapat mempertahankan kreativitas secara aktual. Tentu saja hal ini akan membawa dampak positif pada nilai-nilai organisasi.
Keyakinan individu (spiritualitas) terhadap tempat kerja didefinisikan sebagai kerangka nilai-nilai organisasi. Dibuktikan dalam budaya yang mendorong pengalaman transendensi karyawan melalui proses kerja, mempermudah rasa terhubung dengan orang lain yang mana memberikan kesempurnaan perasaan dan kegembiraan. Spiritualitas dan motif membentuk dasar seseorang karyawan untuk menilai keputusan (persepsi iklim etis) dan moralitas. Ketika seorang karyawan merasakan atau mengamati perilaku rekan sejawat sebagai etis, itu menghasilkan persepsi mereka tentang organisasi yang mendukung iklim etika umum yang kemudian memicu perilaku etis yang dihasilkan seperti motivasi prososial, penilaian moral, perilaku membantu dan kinerja layanan. Terdapat hubungan positif antara spiritualitas tempat kerja dengan iklim etis, moral judgement dan motivasi prososial. Iklim etis berpengaruh positif terhadap perilaku membantu dalam organisasi dan juga berpengaruh terhadap kinerja layanan. Spiritualitas di tempat kerja merupakan prasyarat untuk pengambilan keputusan etis di antara karyawan, sehingga menciptakan iklim etika agregat. Moral judgement dan motivasi prososial didorong oleh iklim kerja spiritual. Mendorong spiritualitas di tempat kerja dapat memberi pengaruh pada perilaku karyawan sehingga mendorong mereka untuk terlibat dalam motivasi prososial dan membuat keputusan yang dianggap bermoral.
Secara nyata, teori kognitif sosial dapat digunakan untuk melihat motivasi dalam pencapaian tujuan yang dibuat oleh seorang individu karyawan (goal orientation). Dimensi lain teori ini meliputi: perilaku, kognitif, dan lingkungan. Hubungan ketiganya dapat bersifat resiprokal. Pada learning goal orientation, belajar didefinisikan sebagai cara untuk mencapai tujuan. Performance goal orientation didefinisikan bahwa kinerja yang baik ditujukan untuk mencapai pujian (dihargai). Namun demikian dari beberapa implementasi yang sudah dilakukan masih terdapat kekurangan. Diantaranya orientasi teori masih pada hal-hal yang sifatnya fisik, materi dan belum berlandaskan unsur religuitas, terutama pada: (1) Upaya individu meyakini bahwa pengetahuan yang dimiliki karena kemampuannya sendiri; mengabaikan bahwa pengetahuan ini datangnya dari Tuhan Yang Maha Esa; (2) Upaya perilaku individu untuk tampil baik karena dorongan untuk pujian; bukan untuk menuju pada perilaku yang bermanfaat bagi orang lain dan sekitarnya; (3) Lingkungan spiritual yang masih ambigu; belum berasaskan pada Wahyu Tuhan. Dari kelemahan diatas maka diperlukan pengembangan nilai-nilai religuitas dalam konsep teori kognitif sosial, yakni mengenai Religuisitas Efikasi Diri. Efikasi diri berbasis nilai religuitas ini tercermin pada diri karyawan yang memiliki keyakinan adanya takdir; bahwa segala sesuatu yang terjadi karena ijin Tuhan Yang Maha Esa dan Tuhan Yang Maha Esa akan akan selalu membersamai di setiap langkah manusia. Pada dimensi kognitif, tercermin melalui pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan pada manajemen pengetahuan. Sedangkan untuk lingkungan, bagaimana lingkungan ini memiliki dampak dengan munculnya motivasi yang bernuansa spiritual.(*)
Salam dari karyawan semarang .hihi