Jepara, Infojateng.id – “Saya masih di bangku sekolah menengah. Belum punya pengalaman menulis yang modelnya seperti tulisan-tulisan di media massa, atau buku. Kalaupun menulis, ya sekadar menulis di akun medsos. Ingin sekali saya bisa menulis. Apa syarat untuk bisa menulis?”
Pertanyaan di atas dialamatkan ke Korespondensi.id. Sepanjang berkiprah di dunia literasi kepenulisan sejak 2004, pertanyaan serupa juga sering disampaikan di berbagai forum.
Tak hanya kalangan pelajar, namun juga umum. Saya mengapresiasi karena pertanyaan itu dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memulai menulis, atau setidaknya belajar.
Menulis membutuhkan proses dan modal dasar, atau saya lebih suka menyebutnya sebagai prasyarat. Sebagai sebuah proses, menulis sama dengan keterampilan lain.
Bermain bola, misalnya. Karenanya ia butuh latihan berulang-ulang, konsisten, dan sungguh-sungguh. Sebagian orang membutuhkan mentor khusus. Setiap penulis sebetulnya secara langsung maupun tidak langsung memiliki mentor.
Saat kita mengidolakan karya tulis seseorang, lalu kita belajar secara konsisten dari karya tulis itu, baik menyangkut alur tulisan, diksi, maupun karakter, maka sang idola secara sepihak kita sebut sebagai mentor. Meskipun keduanya tidak saling bertemu secara fisik.
Perjumpaan dan korespondensinya adalah searah, melalui karya tulis itu. Dengan rajin mencermati karya sang idola, karya kita bisa mendekati atau sekarakter dengan tulisan sang idola.
Atau bisa juga, mentor adalah seorang trainer kepenulisan yang secara langsung bertemu dengan pembelajar. Ia secara teratur mengoreksi, mengarahkan, serta memberi masukan/kritik.
Permentoran dalam kepenulisan itu bagian dari sebuah proses. Muara dari proses adalah berlatih secara konsisten, atau menekuninya sebagai sebuah kebutuhan dan terus dilakukan dengan istikamah.
Di titik ini saya bagikan pengalaman dari banyak orang, bahwa keterampilan menulis oleh mereka yang sudah cukup mahir dalam menulis, bisa saja memudar jika tidak terus diasah/dijaga konsistensi aktivitas menulisnya.
Sama dengan pemain bola, jika seorang pemain jarang berlatih, risiko terbesarnya adalah ia bisa kehilangan sentuhan. Pelatih sering menyebutnya kehilangan puncak penampilan, peak performance.
Untuk memulai menulis ada beberapa prasyarat yang perlu dipenuhi oleh pemula. Jika tak nyaman dengan istilah prasyarat atau modal dasar, bisa menyebutnya dengan kultur.
Ya, di luar aktivitas menulis itu sendiri, menulis butuh kebiasaan-kebiasaan yang mendukung sebagai sebentuk prakondisi. Berikut ini beberapa prasyarat atau kultur yang bisa mendukung proses menulis.
Pertama, niat. Bagaimana mungkin seorang pembelajar mengesampingkan niat untuk bisa menguasai keterampilan tertentu. Ia mirip tekad. Saya menerjemahkannya sebagai kemauan kuat yang terus terawat, tak sekadar kemauan.
Di titik ini, seseorang perlu menentukan maksud dan tujuan belajar menulis. Pembelajar perlu menemukan standard diri dari apa yang ingin dicapai. Misalnya ia berniat bisa menulis karena ingin membuat website dan mengisinya secara rutin.
Atau, ingin bisa menulis karena ingin bisa menulis dengan narasi panjang di salah satu akun media sosial. Atau, ia punya pengalaman tertentu yang perlu dibagikan ke publik melalui tulisan sehingga bermanfaat.
Tujuan detil tiap orang bisa beda-beda. Tujuan-tujuan ini bisa menjadi penguat sekaligus pengikat niat. Ingat, niat bisa goyah di tengah jalan. Pembelajar harus mewaspadainya.
Kedua, berjiwa pembelajar. Penulis dengan jejak rekam dan pengalaman segudang, saat menulis akan mewanti-wanti satu potensi, yaitu kesalahan. Kesalahan bisa di banyak hal; bahasa, makna, dan konteks.
Bahkan penulis akan merenungkan dan mengalkulasi bagaimana resepsi dan respons pembaca. Kesalahan-kesalahan itu bisa datang kapan saja dan menimpa siapa saja. Ini berarti, penulis hebat sekalipun, tak pernah berhenti untuk terus belajar.
Bukankah dalam pembelajaran kita mengenal teori koneksionisme. Connectionism theory view that learning occurs by experimenting and making mistakes.
Teori koneksionisme memandang bahwa belajar itu terjadi dalam dua bingkai: pengalaman (dengan terus mencoba), juga dalam ruang-ruang potensi melakukan kesalahan.
Seorang yang ingin masuk ke dunia kepenulisan, mesti menyadari betapa penting memiliki karakter pembelajar, yaitu orang yang siap terus berlatih, meskipun tersandung kesalahan.
Dengan terus mencoba dan belajar dari kesalahan, seseorang akan menemukan kualitasnya. Mencoba menulis satu paragrap lalu merasa repot dan kemudian berhenti, jauh dari jiwa pembelajar.
Ketiga, kultur membaca. Menulis ibarat memasak. Ia selain membutuhkan ide yang diterjemahkan ke dalam resep, juga perlu bahan-bahan yang akan diolah. Dalam menulis, bahan-bahan itu bersumber dari banyak arah. Semuanya dari pintu membaca.
Bacaan itu bisa berupa literatur, lingkungan, dan pengalaman. Jika ketiga jenis bacaan ini dikolaborasikan, maka bahan tulisan itu benar-benar melimpah.
Saat hendak menulis kedahsyatan letusan gunung api, seseorang bisa saja membaca banyak literatur tentang gunung api. Ia bisa tahu jejak rekam erupsi gunung tersebut.
Penulis lain tak hanya membaca literatur, namun juga mengalami sendiri bagaimana dahsyatnya erupsi itu. Penulis dengan referensi pengalaman akan lebih bisa mendeksripsikan dan menarasikan kedahsyatan erupsi dengan lebih mendalam.
Ini bukan jaminan, namun menulis tentang apa yang dialami dan diperkaya dengan literatur pendukung, berpotensi lebih berbobot.
Seseorang yang memilih sebagai penulis fiksi, ia tetap butuh referensi. Imajinasi bisa menganga dan mengalir jika dirangsang dengan rasa yang bergesekan dengan lingkungan.
Jika calon penulis sehari-hari sibuk dengan pekerjaannya, maka pengalaman atau juga data-data dan buku-buku yang terkait dengan pekerjaannya bisa menjadi sumber referensi.
Karakter penulis tak pernah mengabaikan data apapun yang bisa mendukung kepentingannya dalam menemukan ide di tulisannya. Penulis hakikatnya juga peramban data yang ulet.
Jadi ada dua kebiasaan yang harus dipunyai calon penulis: banyak membaca, dan banyak (berlatih) menulis.
Keempat, berdiskusi. Bersikap terbuka adalah karakter yang selayaknya dimiliki calon penulis. Perlu pengakuan bahwa setiap orang memiliki persepsi dan ide.
Mendiskusikan apa yang menjadi gagasan kita dengan orang lain berpotensi melahirkan tanggapan dan itu akan memperkaya sudut pandang. Beberapa penulis punya beragam pengalaman.
Salah satunya tulisan yang sudah ia selesaikan, tak jadi dipublikasi karena ia menemukan data baru dari hasil perenungan sendiri atau diskusi dengan teman. Termasuk dalam kultur diskusi ini adalah luwes bergaul dan rajin berselancar di internet mengais informasi.
Sebuah obrolan dengan teman, bisa saja menelurkan ide baru atau memperkaya ide lama. Diskusi dengan banyak orang akan merangkum banyak persepsi.
Diskusi dengan diri sendiri (biasanya saya sebut dengan langkah verifikasi dan perenungan) juga penting agar data dan informasi yang kita dapatkan, tidak tertelan mentah.
Kebiasaan berdiskusi ini juga akan mematangkan mentalitas siap dikritik. Menulis untuk dibaca publik memiliki konsekuensi. Penulis harus siap dengan beragam bentuk respons pembaca.
Mereka bisa saja menyanjung tulisan kita, tapi sebagian yang lain bisa saja mengkritiknya, bahkan mencelanya.
Penulis yang terbiasa dengan diskusi, akan meresponsnya dengan proporsional sebab dalam diskusi, perbedaan persepsi sering terjadi.
Kelima, peka dengan bahasa. Penulis idealnya mampu menangkap hal-hal yang paling pokok dan menyajikannya dengan kata dan kalimat yang tepat. Ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang peka terhadap bahasa.
Menulis memiliki risiko; baik-buruk, memahamkan-membingungkan, memperjelas-memperumit. Di sini bahasa menjadi penting. Memilih kata yang pas pada konteks yang tepat membutuhkan kecermatan. Ia sepenuhnya melibatkan rasa.
Sebenarnya ini bukan prasyarat untuk menjadi penulis saja. Di posisi apapun kita, bahasa sebagai simbol pesan harus kita perhatikan. Saat membaca buku, tulisan di media sosial, atau menyimak pembicara di depan publik, seorang yang berniat menjadi penulis sebaiknya tak mengabaikannya.
Peka terhadap kata, kalimat, paragrap, serta keutuhan tulisan akan membantu calon penulis dalam proses pembelajaran.
Jika kita merasa tidak nyaman dengan tulisan yang salah ketik, salah ejaan, pilihan kata yang berpotensi bermakna buruk, maka saat menulis, hindari hal-hal serupa.
Kultur peka ini akan membantu kita menjadi penyimak, pendengar, pencatat sekaligus penulis yang baik.
Saya tidak alergi dengan sebagian yang berpandangan menulis adalah bakat. Tapi saya termasuk yang percaya dan meyakini bahwa kemampuan menulis bisa dipelajari, dilatih, dan dibiasakan.
Setidaknya lima kultur itu bisa menjadi prasyarat dan prakondisi seseorang menjadi penulis. Setiap orang bisa memperkaya sendiri sudut pandang dan kultur-kultur yang dianggap penting sebagai modal untuk memulai menulis.
Penulis: Muhammadun