PATI – Bagi warga Desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo, keberadaan masjid wali yang ada di jalan Sukolilo – Kudus bukanlah masjid biasa. Masjid berukuran kecil di tengah areal persawahan itu dianggap memiliki nilai sejarah yang begitu besar.
Mereka bahkan meyakini jika masjid tersebut didirikan sebelum masjid Demak. Bahkan di masjid itu memiliki perananan penting dalam sejarah pendirian masjid agung Demak. Mereka meyakini di masjid kecil tersebut digunakan para wali untuk bermusyarawah.
Penamaan masjid wali itu sendiri diberikan lantaran masjid tersebut diyakini dibangun sejak masa para wali dahulu. Ali Romdhoni, sejarawan sekaligus penulis buku Istana Prawoto mengatakan, masjid tersebut diyakini sebagai masjid yang didirikan Sunan Ampel untuk Raden Fatah.
“Di dalam Babad Pajang, 27 tahun sebelum pendirian masjid Agung, Sunan Ampel pernah menancapkan masjid untuk Raden Fatah. Hal ini berkesesuaian dengan cerita yang dimiliki masyarakat Prawoto,”terangnya.
Dia bahkan menyebut jika di masjid itu pulalah para wali bermusyarah untuk kemudian merancang berdirinya Masjid Agung Demak. Jika dilihat dari letak geografisnya, letak masjid Wali dikatakannya simetris lurus dengan Muria, Makam Sunan Prawoto, Gapura Istana maupun Surakarta.
“Hal ini pula yang kemudian turut melengkapi. Keberadaan jejak Masjid Wali, Bentolo, Sunan Prawoto, cerita tutur, Babad, dan diperkuat serat centini saling melengkapi bukti jika Prawoto memiliki persyaratan sebagai pusat pemerintaah Kraton Demak,”terangnya.
Kini meski berada di tengah persawahan tanpa ada perumahan yang berada di sekitarnya, namun masjid itu masih sering digunakan oleh warga beribadah. Jika dilihat bangunan masjidnya cukup unik. Nuansa masa lampau masih begitu terasa dari bentuk atapnya yang berundak dan jendela berukuran besar dari kayu dengan model kuno. Ciri khas lainnya adalah masjid itu begitu rendah.Bagian pengimannya hanya setinggi 160 centimeter saja atau tepat seukuran rata-rata tinggi orang dewasa. Pintunya juga cukup rendah.
Tak adanya rumah di sekitar masjid rupanya juga memiliki cerita tersendiri. Dulunya masjid tersebut dikenal sebagai Masjid Kauman. Lantaran di sekitar masjid itu dulunya adalah permukiman yang dikenal dengan kampung kauman.
Hanya saja, hampir setiap tahunnya selalu terjadi banjir besar hingga akhirnya membuat warga yang tinggal di sekitarnya pindah ke daerah yang lebih tinggi. Namun rupanya hal tersebut turut memberi keunikan tersendiri. Meski masjid posisinya di bawah jalan desa tapi saat banjir besar, air tidak pernah masuk ke dalam masjid. Padahal, jalan desa sudah tergenang hampir satu meteran.
Akibat banjir itu pula, kompleks pemakaman yang juga ada di belakang masjid turut tertutup lumpur sehingga tidak terlihat lagi. Masjid tersebut saat ini juga sudah masuk ke dalam benda cagar budaya.
Dengan begitu, masjid iu tidak bisa sembarangan di renovasi. Proses renovasi hanya dilakukan dengan membangun bagian serambi depan sehingga bisa menambah jumlah jamaah yang ingin beribadah di sana.
Sejumlah peninggalan asli dari langgar itupun dikatakannya masih ada, seperti sejumlah batang kayu bagian dari langgar dan juga umpak atau dasaran untuk mendirikan saka atau tiang langgar tersebut.(ijb)