PATI – Pemahaman masyarakat soal rapid test Covid-19 atau tes dengan sampel darah untuk mengetahui virus dalam tubuh, tampaknya harus diluruskan. Sebab, masih banyak masyarakat yang telanjur memberikan stigma negatif terhadap hasil rapid test. Terlebih, bagi mereka yang hasil rapid test-nya positif.
Hal itu diungkapkan Bupati Pati Haryanto selaku Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Pati Jumat (8/5). Menurut Haryanto, jika masyarakat tidak diberikan edukasi, dikhawatir akan ada gelombang penolakan dari warga jika ada Orang Tanpa Gejala (OTG) yang hasil rapid test-nya positif dan harus menjalani isolasi mandiri di rumah.
“Menghindari kontak dengan yang rapid testnya positif memang wajib hukumnya tapi jangan sampai ada penolakan karantina mandiri manakala hal itu terjadi. Seperti para tenaga medis kan rutin kami rapid, nah saat misalnya nanti ada yang rapid testnya positif tapi tanpa gejala, berarti kan bisa isolasi mandiri,” terang Haryanto.
Mereka yang hasil rapid test-nya positif, menurut Bupati, belum tentu reaktif atau positif Covid-19. “Bisa jadi itu karena virus yang lain”, jelasnya.
Bupati mengaku sangat prihatin dengan masih adanya
masyarakat di daerah lain yang memberikan stigma negatif
terhadap hasil rapid test. “Jangan sampai ini juga terjadi di Pati”, tegasnya.
Seharusnya, masyarakat memberikan dukungan semangat terhadap mereka yang hasil rapid test-nya positif untuk dirawat di rumah sakit maupun untuk melakukan isolasi mandiri di rumah.
“Kalau penolakannya karena faktor ketakutan itu jelas tidak benar. Karena hasil rapid test positif belum tentu itu positif Covid-19. Makanya, kita sarankan untuk melakukan isolasi mandiri di rumah. Bukan malah ditolak. Ini pemahaman salah,” jelasnya.
Semestinya, lanjut dia, keluarga maupun tetangga memberikan dukungan secara moril maupun
materil terhadap mereka yang hendak melakukan isolasi mandiri. Dengan begitu, mereka memiliki semangat untuk melakukan isolasi secara mandiri.
“Rapid test ini tidak diarahkan untuk menegakkan diagnosis. Rapid test tersebut bertujuan untuk mendeteksi antibodi dalam tubuh. Sementara itu, antibodi dalam tubuh baru terbentuk 6 sampai 7 hari”, imbuhnya.
Jadi, jika infeksi Covid-19 pada tubuh seseorang belum 6 atau 7 hari, maka hasilnya akan negatif dan perlu diulang. Selanjutnya jika hasilnya negatif dan tanpa keluhan, orang tersebut tetap menjalankan protokol kesehatan dengan menjaga jarak, menggunakan masker dan menerapkan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Sebaliknya, jika hasil tesnya negatif namun kemudian mengalami gejala, maka ia akan disarankan untuk mengakses pelayanan kesehatan dan mendapatkan perlakukan sesuai kondisi.
“Nah jika hasil rapid tes Covid-19 positif maka ini adalah petunjuk awal. Ini menuntun petugas untuk melakukan pemeriksaan metode swab atau Polymerase Chain Reaction (PCR) dan menjadi dasar menegakan diagnosis atau konfirmasi kasus Covid-19”, jelasnya.
Diagnosis, lanjutnya, hanya bisa ditegakkan dengan menggunakan metode PCR. “Kita perlu mengirim spesimen ke lab yang ditunjuk. Dengan demikian terbitnya hasil rapid tes positif tidak mengubah serta merta status seseorang dari OTG menjadi konfirm positif Covid-19”, jelasnya.
Jadi, rapid test mendeteksi anti bodi. Beda dengan swab. Kalau swab test yang dideteksi adalah virusnya.
Lebih lanjut Bupati menjelaskan bahwa metode rapid tes dikombinasikan dengan PCR dilakukan dalam rangka kewaspadaan dini sebagai petunjuk penatalaksanaan selanjutnya.
“Seperti halnya kasus warga Kebonsawahan Juwana yang rumahnya dekat Pasar Juwana itu kemarin kan hasil rapid test-nya positif. Lalu dirawat di RSUD Soetrasno Rembang. Namun setelah beberapa lama dirawat di sana, hasil swab test-nya keluar ternyata negatif Covid-19”, jelasnya.
“Jadi ternyata yang Kebonsawahan itu bukan karena Corona, tapi yang bersangkutan mengidap penyakit anemia kronis. Tapi alhamdulillah karena kini sudah pulih dan swab test-nya negatif, yang bersangkutan diperbolehkan pulang”, jelas Bupati. (CW7/IJH)