Batang, Infojateng.id – Nyadran Gunung Silurah telah menjadi tradisi adat di Desa Silurah Kecamatan Wonotunggal selama beratus-ratus tahun lamanya.
Setiap hari dan bulan tertentu serangkaian ritual digelar oleh warga setempat yang dipimpin oleh seorang tokoh adat.
Ritual menjadi hal yang sangat sakral bagi warga karena di dalamnya mengandung berbagai makna dan filosofi, agar dapat dijadikan teladan sehingga mampu hidup selaras berdampingan dengan alam.
Ketua tim penggali Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Disdikbud Batang Mulyono Yahman menyampaikan, kehadiran pengunjung maupun wisatawan sebenarnya tidak menggangu, hanya saja menjadikan situasi tampak ramai.
“Ini hanya sebuah dampak yang timbul dari keramaian saja. Wisatanya tetap bisa aktif, tapi lokasi ritual tidak bisa dipindah karena sudah berjalan ratusan tahun, jadi kita tidak bisa diubah,” kata Mulyono, saat mendampingi tokoh masyarakat Waluyo melihat langsung lokasi Nyadran Gunung Silurah, di Gapuro Desa Silurah Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang, Sabtu (29/7/2023).
Sempat terbesit kekhawatiran dari para pemerhati budaya, tentang berkurangnya kesakralan tradisi Nyadran Gunung Silurah dengan banyaknya publik yang turut menyaksikan runtutan prosesi.
“Tapi tidak perlu takut karena kesakralan itu tidak bisa luntur begitu saja, sepanjang masyarakat mendukung dan setia dengan adat tradisi leluhurnya, serta menentukan area inilah yang harus dijaga kesakralannya,” jelasnya.
Salah satu tokoh masyarakat setempat Waluyo membenarkan, ada sedikit perbedaan suasana dalam perayaan nyadran, antara masa nenek moyang dengan beberapa tahun ini.
“Dulu memang hanya orang-orang tertentu saja yang menyaksikan prosesi Nyadran Gunung Silurah, tapi sejak beberapa tahun lalu suasana sedikit ramai. Tapi itu tidak menggangu kesakralan dan kekhusyu’an dalam prosesi adat,” terang Waluyo.
Hanya saja wisatawan harus memahami bahwa ketika memasuki area Hutan Larangan harus mempu menjaga perilaku.
“Contohnya ketika berada di sini (Hutan Larangan), tidak boleh menebang atau mengambil segala sesuatu yang ada seperti menebang pohon bambu untuk kepentingan pribadi, termasuk perniagaan karena menurut mitos si penebang akan menerima karma atau bala, begitu juga sebaliknya,” paparnya.
Ia menuturkan, dulu sempat ada orang dari luar daerah yang ingin memotong Watu Larangan (Batu Larangan), karena dirasa menghalangi jalan.
“Dia sudah kami ingatkan biar tidak melakukannya, tapi bersikeras akhirnya belum selesai memotong badan sudah panas dingin, sakit dan dua minggu kemudian meninggal dunia,” ungkapnya.
Tiap malam Jumat Kliwon di bulan Jumadil Awal seluruh warga menggelar tasyakuran sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT dengan melakukan ritual ider desa atau keliling desa dan memotong kambing kendit, lalu kepala dan kaki ditanam di tempat tertentu.
“Termasuk prosesi meletakkan sejumlah sesaji beserta uborampenya di beberapa tempat,” pungkasnya. (eko/redaksi)