Jakarta, Infojateng.id – Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menilai bahwa modal yang dibutuhkan calon kepala daerah dalam Pilkada, yang mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah, telah mengubah proses politik menjadi sebuah transaksi bisnis.
“Kenapa banyak kepala daerah tersangkut kasus korupsi? Karena biaya politik kita sangat tinggi,” ujar Alexander kepada Info Jateng.
Menurut Alexander, tingginya biaya politik ini membuat banyak kepala daerah yang setelah terpilih, malah terjerat kasus korupsi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh KPK dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), untuk menjadi calon bupati atau wali kota, seseorang memerlukan dana sebesar Rp 20-30 miliar.
Namun, jumlah tersebut belum tentu cukup untuk memastikan kemenangan dalam kontestasi politik. Alexander mengungkapkan bahwa para calon kepala daerah seringkali harus merogoh kocek lebih dalam, hingga mencapai Rp 50-70 miliar, atau bahkan lebih.
Jika daerah yang akan dipimpin kaya akan sumber daya alam (SDA), maka biaya politik yang harus dikeluarkan akan lebih besar lagi.
“Jika ingin menang, biaya harus dilipatgandakan menjadi Rp 50 hingga Rp 70 miliar, tergantung pada kekayaan sumber daya alam di daerah tersebut,” jelas Alexander.
Alexander juga menjelaskan bahwa berdasarkan survei KPK dan Kemendagri, tidak semua biaya politik tersebut berasal dari kantong pribadi kandidat. Sebagian besar biaya tersebut berasal dari sponsor, yang biasanya adalah pengusaha lokal.
“Dari survei kami, tidak semua biaya tersebut dikeluarkan oleh calon kepala daerah sendiri, tetapi ada sponsor yang rata-rata adalah pengusaha lokal, terutama dari sektor konstruksi,” katanya.
Ia menambahkan bahwa pihaknya telah melakukan survei terhadap para pengusaha yang mendanai calon kepala daerah. Survei tersebut mengungkapkan bahwa dukungan finansial tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma.
“Mereka berharap, jika calon yang didukung menang, setidaknya mereka akan dipermudah dalam memenangkan lelang proyek,” ucap Alexander.
Melihat kenyataan ini, Alexander mengaku tidak terkejut jika muncul masalah dalam pengadaan barang dan jasa, maupun pembangunan infrastruktur yang tidak sesuai harapan. Sebab, ada utang politik yang harus dilunasi oleh kepala daerah kepada para sponsor yang telah mendukung mereka selama Pilkada.
“Jika terjadi masalah dalam pengadaan barang dan jasa atau pembangunan infrastruktur, salah satu akar permasalahannya adalah utang politik yang harus dibayar oleh kepala daerah kepada para donatur. Itulah masalahnya,” tutup Alexander. (one/redaksi)