*Oleh : Dr. Ardli Johan Kusuma, S,IP., M.H.I
Fenomena terjadinya konflik telah menyertai di setiap detik perkembangan peradaban manusia. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial memaksa terjadinya interaksi yang dilakukan antar manusia baik dalam bentuk interaksi antar individu, antar kelompok bahkan dalam bentuk antar negara. Semua bentuk interaksi yang dilakukan manusia selalu berpotensi membuka ruang konflik yang terjadi. Bahkan dalam konteks konflik antar negara tidak jarang berujung pada terjadinya sebuah peperangan yang melibatkan pasukan militer antar negara.
Berbicara soal perang dalam dunia internasional, terutama dalam konteks sejarah dunia internasional modern, masih tertulis jelas dalam buku-buku sejarah bagaimana dahsyatnya perang dunia yang terjadi, baik perang dunia-I, perang dunia-II, hingga perang dingin. Perang yang melibatkan beberapa negara-negara di dunia tersebut telah menjatuhkan banyak korban jiwa, yang mengingatkan kepada kita semua tentang betapa bahayanya sebuah konflik antar negara yang berujung pada kebijakan perang.
Meskipun perang dingin terjadi tidak seperti perang-perang sebelumya, dimana aktor-aktor yang berkonflik terlibat secara langsung dalam perang, maka lain halnya dengan perang dingin yang aktor utamanya adalah Amerika Serikat dan Uni soviet yang kala itu justru tidak terlibat perang secara langsung. Namun demikian strategi Proxy war (menggunakan pihak lain untuk berperang) yang dijalankan oleh kedua negara tersebut juga banyak menjatuhkan korban jiwa seperti yang terjadi di Jerman, Korea dan Vietnam waktu itu.
Jika dilihat secara umum, baik perang dunia-I, perang dunia-II, hingga perang dingin semuanya didominasi oleh isu kepentingan ekonomi dan politik yang menjadi penyebab pecahnya perang-perang tersebut. Meskipun, isu kepentingan ekonomi dan politik tersebut dikemas dalam beberapa bentuk seperti masalah konflik kepentingan praktik imperialisme (perebutan penguasaan sumber daya alam), politik aliansi, hingga kepentingan persaingan penyebaran ideologi seperti yang terjadi dalam perang dingin.
Ancaman Potensi Konflik “Klasik”
Setelah perang dingin berakhir pada tahun 1991, dimana Uni Soviet terpecah menjadi beberapa negara, sebenarnya masyarakat dunia internasional memiliki harapan baru tentang dunia yang tidak akan lagi menghadapi ancaman perang besar. Munculnya anggapan bahwa dunia tidak akan lagi mengalami konflik besar, apalagi yang didasari oleh perbedaan ideologi didasarkan pada teori yang dikembangkan oleh Francis Fukuyama yang berpendapat bahwa berakhirnya perang dingin merupakan akhir dari sejarah itu sendiri, yaitu titik akhir dari evolusi ideologis manusia dan universalisasi demokrasi liberal barat sebagai bentuk final pemerintahan manusia.
Tetapi pada faktanya peluang-peluang pecahnya konflik besar masih terus terjadi. Misalnya munculnya penantang baru Amerika Serikat yaitu China yang menyebabkan memanasnya peta politik internasional. Terjadinya perang pengaruh hingga perang dagang antara China dan Amerika serikat yang dampaknya ikut dirasakan dalam hal-hal tertentu memaksa keterlibatan negara-negara lain di dunia internasional yang terjadi saat ini telah menunjukkan bahwa ancaman konflik besar masih menghantui dunia internasional.
Selain itu, politik aliansi dan sikap dukung-mendukung dalam beberapa konflik yang terjadi seperti pada konflik Israel-Palestina, konflik laut China Selatan, hingga konflik di semenanjung korea, yang menarik beberapa negara untuk ikut campur dalam konflik-konflik tersebut juga telah menunjukkan bahwa pengaruh politik, ekonomi dan ideologi juga masih nyata adanya.
Di sisi lain, fenomena gesekan antara dunia Islam dengan masyarakat di beberapa negara “barat” yang pada umumnya disebabkan oleh sentimen serta Islamfobia (ketakutan yang berlebihan terhadap Islam) oleh masyarakat barat juga menjadi ancaman tersendiri bagi dunia internasional. Bahkan konflik yang disebabkan oleh Islamfobia ini tidak jarang berujung pada tindakan kekerasan yang menyebabkan korban jiwa.
Fenomena konflik yang melibatkan peradaban dan “agama” tersebut snada dengan prediksi dari Samuel Philips Huntington yang dijabarkan dalam sebuah buku yang terkenal yang diterbitkan pada tahun 1996 dengan judul “The Clash of Civilization and the Remaking of World Order” (Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia). Meskipun secara konsep teoritis yang diajukan Huntington banyak memiliki kelemahan, misalnya terkait klasifikasi dari peradaban yang tidak konsisten antara penggunaan dasar penentuan wilayah atau dasar penentun agama, tetapi ada beberapa sisi argumen yang diajukan terbukti dalam beberapa konflik yang terjadi belakangan ini.
Konflik yang terbaru tentu adalah kekisruhan yang terjadi dalam bentuk protes masyarakat Islam di berbagai negara terhadap presiden Prancis yaitu Emmanuel Macron yang dianggap telah menghina Islam, yang berujung pada gerakan boikot oleh masyarakat Islam di berbagai negara terhadap produk-produk yang berasal dari Prancis. Masih belum jelas motif dari Macron mengeluarkan pernyataan yang dianggap telah menyinggung masyarakat Islam di berbagai negara tersebut.
Dari fenomena tersebut, lalu memunculkan pertanyaan apakah “agama” merupakan penyebab konflik yang baru? Tentu saja jawabannya tidak. Sejarah telah mencatat bahwa “agama” merupakan salah satu dimensi yang digunakan sebagai alat penyebab konflik yang unik dibandingkan dengan kepentingan ekonomi dan politik. Eksistensi “agama” dalam konflik sudah tercatat dalam sejarah konflik yang pernah terjadi di dunia. Salah satu yang paling terkenal adalah terjadinya perang salib yang terjadi antara abad ke-11 hingga abad ke-17, yang secara umum isu “agama” saat itu menjadi penyebab utama terjadinya tragedi konflik besar dalam sejarah umat manusia tersebut.
Posisi “agama” dalam hal ini tentu berbeda dengan alasan ekonomi dan politik yang berbasis materialisme cenderung terlihat lebih masuk akal dibandingkan dengan “agama”. Namun demikian bukan berarti “agama” hanya menjadi faktor penghias dalam konflik-konflik yang pernah terjadi di dunia. Fakta pendukung bahwa pendapat ini misalnya ketika kita melihat sejarah kolonialisme kuno yang dilakukan oleh negara-negara Eropa. Semangat 3G waktu itu yaitu gold, glory, gospel menjadi tujuan awal bangsa Eropa untuk menguasai wilayah lain. Gold diasosiasikan sebagai pengumpulan kekayaan yang berarti berafilisasi dengan kepentingan ekonomi. Glory diasosiasikan sebagai kejayaan dalam memperluas kekuasaan dan pengendalian pemerintahan atas wilayah yang dikuasai yang berarti berafiliasi dengan kepentingan politik. Sementara Gospel dianggap sebagai misi suci untuk menyebarkan agama di wilayah yang dikuasai. Jika melihat semangat tersebut, posisi “agama” berdiri sejajar dengan kepentingan ekonomi dan politik yang menjadi alasan konflik terjadi dalam konteks praktik kolonialisme oleh bangsa-bangsa Eropa waktu itu.
Bagi pemikir-pemikir materialisme, isu “agama” dalam sebuah konflik hanya dianggap sebagai salah satu isu “ilusi” atau bahan dianggap sebagai pembenaran untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik yang dianggap lebih nyata keberadaannya. Terlepas dari perdebatan tersebut, eksistensi isu “agama” dalam sejarah konflik manusia nyatanya terus berlangsung dari dulu hingga kini. Karena pada faktanya banyak orang yang rela mengorbankan nyawanya demi “membela agama” yang diyakininnya.
Dengan demikian, dunia internasional saat ini masih berada dibawah ancaman peluang terjadinya konflik-konflik yang disebabkan oleh alasan-alasan klasik yaitu masalah ekonomi, politik serta “agama” yang memang selama ini sudah terbukti menjadi penyebab konflik besar yang pernah terjadi di dunia internasional. Peluang-peluang konflik “klasik” tersebut jika tidak disikapi dengan baik oleh negra-negara di dunia pada khususnya serta masyarakat internasional pada umumnya, maka bisa jadi akan membawa kita kepada fase perang dunia seperti perang-perang sebeumnya yang melibatkan banyak negara.
Karena satu hal yang perlu diingat adalah bahwa setiap negara pasti memiliki afiliasi dan identitas tertentu yang jika suatu saat negara tersebut merasa terancam, maka negara tersebut akan berusaha menggunakan identitas serta afiliasi yang dimilikinya tersebut untuk menggalang dukungan dari negara-negara lain yang menjadi aliansinya. Itu artinya setiap konflik ataupun perang yang terjadi antara satu negara dengan negara yang lain, akan menarik keterlibatan negara-negara yang lainnya dengan berbagai alasan. Maka dari itu perlu kesadaran berfikir yang tinggi bahwa perang sangat merugikan bagi umat manusia, sehingga perlu sikap-sikap yang tepat untuk menghindari terjadinya konfik yang bisa berujung pada perang yang mematikan.
*Penulis Adalah Dosen Tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.